Minggu, 29 Agustus 2010

Mekanisme Anti-Beku Pada Amfibi Yang Ber-hibernasi

Mekanisme Anti-Beku Pada Amfibi Yang Ber-hibernasi

by: Arief Rachman

Pendahuluan

Oke. Setelah bos Viktor membuat artikel mengenai ikan paus dan bakteri pemanen sinar matahari, giliran saya yang membuat sebuah artikel. Kali ini temanya adalah hibernasi. Sebelum mulai, saya yakin kalian tahu sedikit mengenai hibernasi. Secara sederhana hibernasi adalah mekanisme 'tidur' yang dilakukan oleh hewan-hewan yang hidup di negara 4 musim, yaitu pada musim dingin. Secara lebih detail, hibernasi merupakan serangkaian proses yang memungkinkan hewan-hewan endotermik (berdarah panas) dan ektotermik (berdarah dingin) untuk bertahan hidup selama kondisi suhu ekstrim dingin.

Mekanisme hibernasi bervariasi antara hewan ektoterm dan endoterm. Tapi pada umumnya, yang terjadi selama hibernasi adalah:

- laju metabolisme menurun

- laju respirasi dan peredaran darah juga menurun

- suhu tubuh turun seiring dengan menurunnya laju metabolisme

Bagi hewan endotermik yang mampu menghasilkan panas tubuh sendiri, hibernasi merupakan usaha untuk menurunkan laju metabolisme pada tangan dan kaki. Pada saat yang sama, suhu pusat (organ dalam, terutama jantung, paru-paru, dan otak) dijaga agar tetap stabil dan masih memungkinkan untuk masih bisa bekerja. Selama bahan bakar metabolisme berupa lemak masih tersedia saat hibernasi, organisme endotermik dapat terus hidup. Kecuali suhu lingkungan turun terlalu jauh dibawah batas toleransi mereka.

Pada hewan endotermik ini, hibernasi hanya sebatas menurunkan laju metabolisme dan fungsi organ-organ tubuh, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Selain hibernasi, sebagian besar organisme endotermik masih bisa beraktivitas pada musim dingin karena punya adaptasi lain, seperti bulu tebal, lapisan lemak tebal, hingga memiliki otot dengan mitokondria yang berlebihan (sebagai penghasil panas).

Nah, berbeda dengan organisme endotermik, organisme ektotermik (seperti katak yang akan saya jelaskan nanti) bergantung pada suhu lingkungan untuk melakukan metabolisme. Sehingga mekanisme hibernasi mereka berbeda dengan mekanisme hibernasi pada hewan endotermik. Salah satu mekanisme hibernai hewan ektotermik yang sangat menarik adalah 'membeku' pada suhu sangat rendah. Mekanisme ini tidak ditemukan pada organisme endotermik.

Masalah Yang Dihadapi Hewan Yang Membeku

Oke. Sekarang kita mulai masuk pada pembahasan utama, yaitu hibernasi pada amfibi, contohnya katak dan kodok (hayo! kalian tahu beda antara katak dan kodok kan??).

Saya yakin sebagian besar dari kita tidak pernah merasakan dinginnya musim dingin, apalagi melihat katak yang berubah jadi 'katak beku' saat musim dingin. Tapi bagi yang pernah membaca buku, nonton Discovery Channel, atau baca artikel di internet, atau yang mengerjakan tugas fisiologi atau ekofisiologi hewan ヾ(´^ω^)ノ♪pasti tahu deh mengenai fenomena ini.

Ya! Membiarkan tubuhnya membeku adalah salah satu metode hibernasi ekstrim yang dilakukan oleh amfibia. Contohnya adalah spesies Rana sylvatica (wood frog). Spesies katak ini mengalami hibernasi ekstrim hingga tubuhnya lebih mirip katak beku daripada katak yang sedang hibernasi.Nah, mungkin kalian ada yang mulai bertanya.

Kok bisa sih katak yang dibekukan kayak gitu hidup lagi?

Tentu bisa. Hewan ini punya mekanisme 'super' yang membuat para ilmuwan sampai saat ini cuma bisa bertanya-tanya sambil gigit jari. Dalam ilmu ekofisiologi hewan, mekanisme ini dikenal sebagai antifreeze strategy. Sebelum masuk ke pembahasan mengenai antifreeze strategi ini, ada bagusnya saya jelaskan sedikit mengenai masalah yang dihadapi hewan yang membeku.

Saya yakin kita semua tahu. Kalau suhu air turun dibawah 4 derajat celcius C, air akan mulai membeku, dan pada suhu 0 derajat celcius, air akan membeku sepenuhnya. Hukum fisika ini juga berlaku dalam tubuh organisme.

Terus masalahnya apa?

Ingat bahwa sebagian besar komponen tubuh hewan adalah air. Pembekuan air dalam sel dan jaringan akan:

- menyumbat pembuluh darah,

- merusak jaringan atau komponen sel, dan

- menghambat reaksi metabolisme sel.

Kalau pembekuan ini berlanjut, maka hewan akan mati karena metabolisme tubuhnya berhenti. Berhentinya metabolisme sel bisa diakibatkan oleh:- kerusakan organel atau komponen sel, - berubahnya permeabilitas membran sel, atau - terhambatnya reaksi enzimatis dalam sel.

Nah. katak yang kita bahas ini bisa mengatasi masalah-masalah tersebut dengan strategi anti beku-nya.

Mekanisme Antifreeze Pada Rana sylvatica dan Para Amfibi Lainnya

Baiklah, bagian ini agak sedikit rumit bagi yang kurang paham Biologi, tapi bertahanlah (*'ー')ノ~~ .

Secara garis besar, semua mekanisme antifreeze yang terjadi pada amfibi berkaitan dengan mekanisme untuk mencegah terjadinya pembekuan air di dalam sel. Bisa berupa freeze tolerance: yaitu membiarkan tubuhnya membeku, tapi mencegah sitoplasma selnya membeku, atau freeze avoidance: yaitu membiarkan beberapa jaringan membeku (umumnya tangan dan kaki), tapi mencegah pembekuan terjadi pada organ vital (jantung, paru-paru, dan otak).

Bagaimana caranya?

Mereka menghasilkan senyawa-senyawa cryoprotectant agents dan antifreeze protein dalam sel mereka. Senyawa anti-beku yang disebut sebagai antifreeze protein adalah sejenis protein khusus yang dihasilkan sel untuk: mengontrol proses pembekuan air, atau menghasilkan efek supercooling (penurunan titik beku air, sehingga air tidak membeku pada suhu 0 derajat celcius). Sama seperti antifreeze protein, cryoprotectant agents juga senyawa yang dihasilkan sel untuk mencegah kerusakan akibat pembekuan. Bedanya: cryoprotectant agents biasanya adalah senyawa non-protein, umumnya berupa polyols seperti gliserol, sorbitol, manitol, trehalosa, dan glukosa. (Nah loh, pusing kan? (~__~)'a )

Secara umum, baik cryoprotectant agents dan antifreeze protein digunakan bersama-sama dalam mekanisme antifreeze pada amfibia. Walaupun bentuk molekulnya sangat berbeda, tapi mekanisme kerja kedua jenis senyawa anti beku itu hampir sama.

Dalam mekanisme anti-beku, kedua jenis senyawa tersebut disintesis dalam konsentrasi sangat tinggi di dalam sel. Beberapa jenis senyawa akan mengikat air dan mencegah terbentuknya kristal-kristal es, sementara senyawa lainnya akan menggantikan air sebagai komponen utama sitoplasma. Konsentrasi senyawa cryoprotectant agents dan antifreeze protein yang tinggi dalam sel, akan menurunkan titik beku air dan menciptakan efek supercooling. Pada kondisi ini, air dalam sel tidak akan membeku meski suhu sudah mencapai 0 derajat celcius. Senyawa anti-beku juga seringkali dikeluarkan dari sel untuk melindungi jaringan lainnya agar tidak mengalami kerusakan akibat pembekuan air.

Mekanisme ini memang menakjubkan, tapi tetap ada batasannya. Bila suhu turun hingga jauh dibawah 0 derajat celcius, maka mekanisme anti-beku ini tetap akan gagal mempertahankan metabolisme sel, sehingga sitoplasma sel akan membeku. Pada akhirnya, katak beku ini benar-benar jadi katak beku, dan pada akhirnya akan berakhir di meja makan restoran swike (hehehehe....). Ngomong-ngomong, berhubung katak beku menghasilkan cryoprotectant agent yagn sebagian besar merupakan golongan karbohidrat. Kalau nanti katak beku dijadikan swike, rasanya pasti lebih manis (^ o ^). Sebuah strategi hebat untuk meningkatkan penjualan swike...nyahahaha....

Antifreeze Strategy Sebagai Dasar Cryopreservation

Nah, tadi saya sempat bilang kalau mekanisme antifreeze pada amfibia bikin para ilmuwan gigit jari.

Kenapa? Emang jarinya enak digigit-gigit ya?

Jelas ga lah! Karena mekanisme antifreeze ini adalah mekanisme impian yang hingga saat ini masih diteliti untuk perjalanan ke luar angkasa. Bagi yang doyan baca dan nonton serial science fiction (atau main game), pasti pernah dengar istilah cryopreservation atau cryonic. Cryopreservation adalah usaha untuk membekukan organisme, jaringan, atau sel, untuk kemudian dihidupkan kembali setelah beberapa waktu. Potensi cryonic sangat besar di bidang medis dan perjalanan antariksa.

Di bidang medis, cryopresevation sangat berguna untuk mengawetkan organ yang akan ditransplantasi dalam waktu yang lama. Cryopreservation juga berguna untuk membekukan pasien dengan penyakit yang belum ada obatnya, untuk kemudian dihidupkan kembali saat obat penyakit itu sudah ditemukan.

Di bidang perjalanan antariksa, teknik ini bisa diaplikasikan untuk menghindari masalah umur karena perjalanan ke planet yang sangat jauh (dengan catatan teknologi warp, teleport, atau hyperspace belum ditemukan). Dengan teknik cryopreservation ini, awak wahana antariksa bisa 'tidur' selama puluhan tahun, dan baru akan bangun bila sudah mencapai planet tujuan.

Saat ini penelitian cryonic masih terus dilakukan dan setahu saya, masih belum berhasil pada mamalia (karena pada dasarnya mamalia tidak punya mekanisme antifreeze). Mamalia yang dibekukan pada suhu sangat rendah, menggunakan larutan cyroprotectant agent masih menunjukkan tanda-tanda kerusakan jaringan dan organ ketika dihidupkan kembali.

Penutup

Nah, setelah saya menjelaskan agak panjang kali lebar kali tinggi, saya berharap kalian sedikit paham mengenai proses yang terjadi pada hibernasi amfibia pada musim dingin.

Yah, kalau masih belum paham, silahkan bertanya pada orang yang paham, baca buku, baca artikel di internet, atau silahkan meneliti mengenai prosesnya (^___^). Kalau ada yang penasaran dengan katak beku, silahkan cari artikelnya di internet, atau langsung aja terbang ke negeri 4 musim pas musim dingin (jangan lupa oleh-olehnya ya (*'ー')ノ~~ )

P.S. :

Kalau kalian suka dengan artikel ini, klik Thanks, Like This!, atau boleh ngasih Cendol pada saya. Saya ga bakalan nolak kok \(^ω^\)( /^ω^)/ Kalau kalian tidak suka, atau ada yang salah, mohon diperbaiki saja (PM atau kirim message ke saya, biar nanti saya perbaiki). Berhubung saya ini masih manusia, dan ilmu saya belum tinggi-tinggi amat, harap maklum kalau ada kesalahan. Jadi saya mohon jangan dilempar Bata atau di Infract ya o(>< )o o( ><)o

Sumber: Dari berbagai sumber

Sabtu, 28 Agustus 2010

Bakteri Fototrofik: Si Pemanen Matahari (Part III)

Kembali dan terus kembali lagi dalam artikel 'Bukan Tulisan Ilmiah'. Inilah yang ditunggu-tunggu apabila telah menyelesaikan bacaan Bakteri Fototrofik Part II, yaa setidaknya itulah yang saia dengar dari para responden. Semoga para pembaca terus menyukainya deh kalo begitu. Oke seperti yang saia janjikan sebelumnya, pada part III sekaligus part terakhir ini saia akan membicarakan sedikit mengenai ekologi serta pemanfaatan bakteri fototrofik yang seringkali kita jumpai baik secara tradisional maupun skala industri modern. Well, enjoy your reading.

Pengantar
Yaa lagi-lagi pengantar. Bab ini akan selalu menyertai kita sebelum memasuki inti cerita dalam part III ini. Sebelum kita memasuki pembahasan yang pertama, yakni ekologi bakteri fototrofik terdapat beberapa hal yang perlu dimengerti. Yup seperti biasanya kita mulai dari sebuah definisi. Ekologi merupakan ilmu mengenai interaksi antar mahluk hidup dengan lingkungan yang menentukan kemelimpahan dan distribusi/persebarannya. Nah ketika kita membicarakan mengenai ekologi bakteri kita akan sering menemui istilah seperti populasi/grup, struktur komunitas, dan parameter/ukuran fisikawi-kimiawi lingkungan. Oya, pada bagian ekologi ini juga perlu cara pandang baru terhadap kata 'lingkungan', yaitu dalam skala bakteri. 'Lingkungan' yang dimaksud dalam tulisan ini tidaklah terlalu besar, yaa kira-kira seukuran tanda titik pada akhir kalimat ini. Yup, dalam 'lingkungan' yang sebesar itu di lautan, akan terdapat puluhan ribu bahkan hingga jutaan bakteri. So my advice is, see small and think big. Penjelasan berikut mengenai ekologi mengkin akan lebih ditekankan pada komunitas bakteri fototrofik di lautan karena ekosistem lautan merupakan habitat yang paling mewakili semua kelompok bakteri fototrofik yang ada. Kemudian, kita juga akan melihat bagaimana interaksi/hubungan dari khususnya kelompok-kelompok bakteri fototrofik dengan kelompok bakteri maupun organisme lainnya. Selain itu dalam hal pemanfaatan, ternyata cukup banyak potensi kelompok bakteri fototrofik yang dapat dimanfaatkan oleh para Homo sapiens. Oke, supaya tidak memunculkan keribetan lebih lanjut, mari kita lanjut saja ke tema masing-masing.



Ekologi, Struktur Komunitas, dan Interaksi Bakteri Fototrofik
Ketika kita membicarakan ekologi kita tidak akan pernah luput dari yang namanya interaksi dengan skala terkecil adalah populasi. Dalam dunia bakteri, definisi populasi terkait dengan ekologi lebih mengarah pada sekelompok bakteri yang memiliki kesamaan fungsi/peran dalam ekosistem/lingkungannya. Nah, dalam hal ini bekteri fototrofik merupakan satu populasi tersendiri di ekosistem lautan meskipun perannya secara detail akan membagi kelompok tersebut menjadi populasi-populasi yang lebih spesifik lagi. Pada ekosistem lautan, bakteri fotoautotrofik oksigenik maupun anoksigenik, yaitu Cyanobacteria, purple sulfur bacteria (PSB) dan green sulfur bacteria (GSB). Ketiganya merupakan golongan bakteri fototrofik yang mampu menghasilkan senyawa organik dari karbon dioksida (CO2). Kemampuan 'memasak makanan' itu menjadikan ketiganya sebagai salah satu produsen, atau lebih mudahnya sebagai penyedia makanan bagi seluruh komunitas lautan. Dengan demikian, hal tersebut juga menjelaskan bahwa cyanobacteria banyak terdapat pada bagian permukaan lautan dimana ada banyak sinar matahari. Senyawa organik hasil 'masak-memasak' cyanobacteria dan GSB ada yang disimpan dan ada juga yang dilepaskan ke lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar tempat cyanobacteria dan GSB juga menjadi habitat bagi para bakteri fotoheterotrofik seperti para purple non-sulfur bacteria (PnSB) atau green non-sulfur bacteria (GnSB) yang memanfaatkan senyawa organik tersebut bersama dengan sinar matahari untuk mendukung kehidupannya. Interaksi tersebut bersama dengan interaksi lainnya antar bakteri di lautan akan mempengaruhi dinamika populasi masing-masing kelompok bakteri tersebut, yakni dalam hal ini kita fokuskan pada bakteri fototrofik. Setelah melihat salah satu contoh interaksi antar sesama bakteri fototrofik, sekarang kita beralih ke interaksi pada kisaran yang lebih luas. Kita mulai dari satu pertanyaan, yaitu bagaimana dinamika (laju naik-turunnya kepadatan) populasi bakteri fototrofik serta kaitannya dengan organisme lain di ekosistem laut? Setidaknya terdapat tiga teori dan satu hipotesis untuk menjelaskan fenomena tersebut, yaitu Bottom-Up Control, Top-Down Control, Sideway Control, dan hipotesis 'Kill the winner'. Sekarang mari kita bahas satu per satu:


Teori Bottom-Up Control menjelaskan bahwa fluktuasi senyawa organik nutrien (bahan makanan) yang berperan sebagai 'bottom' akan mempengaruhi semua faktor diatas (up) yang terkait dengan ketersediaannya. Hal ini terlihat jelas pada dinamika populasi cyanobacteria. Loh kok bisa? mereka kan bisa 'masak' sendiri, lalu kenapa populasinya masih bisa dipengaruhi oleh fluktuasi nutrien? Yup, mereka memang bisa 'memasak' sendiri, namun hanya untuk senyawa-senyawa karbon dan ternyata tidak semua anggota cyanobacteria dapat 'memasak' senyawa-senyawa nitrogen-organik (melakukan fiksasi nitrogen). Salah satu anggota yang banyak terdapat pada permukaan lautan terbuka yang tidak dapat melakukan fiksasi nitrogen adalah genus Synechococcus. Dalam hal ini, fluktuasi senyawa nitrogen-organik hasil penguraian/dekomposisi sangat mempengaruhi dinamika populasinya.

Teori Top-down Control menjelaskan hubungan perburuan/predasi terhadap dinamika populasi. Konsumen atau predator berperan sebagai 'top' yang mempengaruhi dinamika populasi bakteri mangsanya (down). Nah konsumn apakah yang dimaksud? Saia sarankan jangan berpikir tentang paus ataupun manusia karena ini ukurannya jauh lebih kecil. Predator tersebut mungkin kelompok mikrobia eukaryotik seperti dinoflagellata (nah apalagi itu??) ataupun zooplankton. Nah kuliah ekologi yang pernah saia ikuti pernah menjelaskan mengenai predator-prey relationship yang dijelaskan pertama kali oleh Oom Lotka dan Oom Voltera dan kemudian dijelaskan lagi secara lebih mendetail oleh dalam trophic cascading interaction (interaksi tingkat makanan berkesinambungan) di perairan oleh Oom Carpenter. Hubungan/relationship tersebut menjelaskan bahwa kenaikan populasi bakteri mangsa (prey) akan diikuti oleh kenaikan populasi zooplankton predator yang pada akhirnya akan menurunkan kembali populasi bakteri mangsa dan seterusnya. Efek ini, seperti halnya pada bottom-up control, umum terjadi pada komunitas penghuni perairan laut sehingga membuat populasi setiap organisme terkontrol secara berkesinambungan.

Teori Sideway Control merupakan satu hal yang cukup unik dan eksklusif pada komunitas bakteri. Komunitas bakteri merupakan gabungan dari berbagai populasi bakteri yang berinteraksi satu dengan lainnya pada tempat (lingkungan) dan waktu tertentu. Nah pada sideway control ini, terdapat suatu hal yang bisa saia katakan sebagai 'interaksi setara' antar populasi bakteri. Jadi, selain interaksi memangsa dan dimangsa, populasi bakteri juga berinteraksi satu dalam hal kompetisi, saling memberi makan (sintrofi/syntrophy), saling meracuni (amensalisme), dan bahkan hidup bersama organisme lain (simbiosis) baik itu secara mutualisme maupun parasitisme. Lalu mengapa interaksi ini cukup eksklusif untuk bakteri? ya karena interaksi inilah yang cukup jelas terlihat pada bakteri dibandingkan dengan organisme lainnya yang lebih besar. Selain itu, bakteri juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam senyawa kimia yang membantu proses interaksi ini. Nah pada komunitas bakteri fototrofik, semua jenis interaksi sideway control tersebut terjadi. Salah satu contohnya adalah pada ekosistem lautan terdapat cyanobacteria yang dapat menghasilkan senyawa racun/toksik bagi bakteri lain agar cyanobacteria dapat dengan sukses menguasai bagian permukaan laut. Namun ternyata juga ada populasi bakteri lain, misalnya dari kelompok fotoheterotrof, kebal terhadap senyawa racun yang diproduksi oleh cyanobacteria dan justru menggunakan senyawa tersebut untuk mendukung kehidupannya--suatu proses sintrofi. Beberapa spesies dari kelompok bakteri fotoheterotrofik PnSB juga ada yang hidup bersimbiosis dengan dinoflagellata (suatu organisme cukup kecil namun lebih besar dari bakteri pada umumnya) parasit pada kerang laut. Interaksi sideway control ini juga turut berpengaruh dalam menentukan kemelimpahan bakteri fototrofik di lautan dan cukup setara dengan bottom-up atau top-down control.

Hipotesis 'kill the winner' merupakan suatu gagasan baru terhadap dinamika populasi bakteri di lautan. Hipotesis ini menekankan peran virus bakteri di lautan (virioplankton), suatu kelompok virus yang menyerang dan membunuh bakteri. Pada ekosistem laut, terdapat suatu kecenderungan bahwa apabila suatu saat terjadi dominansi suatu habitat (niche) oleh bakteri tertentu, maka jumlah/densitas bakteri tersebut akan sangat tinggi/padat. Nah, kepadatan ini akan memicu penyerangan virus terhadap bakteri tersebut sehingga pada akhirnya akan menurunkan jumlahnya. Lalu mengapa harus menunggu kepadatan jumlah bakteri yang tinggi dulu baru hipotesis ini berperan? Well, jawabannya terletak pada sifat khas ekosistem lautan terbuka itu sendiri yaitu suatu ekosistem yang relatif miskin nutrien/zat makanan jika dibandingkan dengan perairan darat maupun daratan. Virioplankton merupakan parasit yang hanya dapat hidup di dalam sel bakteri dan perpindahannya pun sebisa mungkin harus dari bakteri ke bakteri. Kepadatan bakteri yang tinggi pada waktu tertentu di ekosistem lautan akan memudahkan penyebaran virioplankton ini untuk 'memangsa' bakteri. Lalu ketika kepadatan bakteri dominan (winner) sudah turun, maka sebagian habitat (niche) nya dapat dimanfaatkan oleh bakteri yang se-tipe/mirip sehingga jenis-jenis bakteri lain pun dapat hidup (coexist) bersama.

Interaksi lainnya yang menurut saia cukup berperan namun bukan merupakan penggerak utama dalam penentuan struktur komunitas bakteri fototrofik lautan adalah aktivitas transfer bahan genetik. Mekanisme pertukaran ini memungkinkan perubahan sifat suatu bakteri fototrofik menjadi berubah sehingga dengan sifat baru tersebut, suatu bakteri akan mampu menempati habitat (niche) baru yang sebelumnya tidak dapat ditempati. Menurut data yang ada, hal ini kerap terjadi pada masa lampau ketika awal kehidupan di bumi, yaitu bahwa berbagai macam kelompok bakteri termasuk juga bakteri fototrofik kerap melakukan pertukaran bahan genetik yang mengandung sifat 'mampu hidup pada suhu tinggi' sehingga masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kondisi awal bumi yang masih panas tersebut. Namun pada kondisi bumi sekarang ini, saia rasa interaksi tersebut sudah lebih jarang terjadi, namun kita tetap harus memasukannya dalam pertimbangan kita hehehe...

Nah, setelah semua interaksi yang kita ketahui tersebut, tentu kita akan bertanya khususnya terkait dengan bakteri fototrofik, yaitu mekanisme mana yang paling berperan dan mana yang kurang berperan? Pada dasarnya, tidak ada satupun dari semua mekanisme tersebut yang dapat berdiri sendiri. Semua mekanisme tersebut terjadi secara bersamaan, namun kondisi tempat dan waktu lah yang menentukan interaksi mana yang harus berjalan terlebih dahulu.

Pemanfaatan Potensi Bakteri Fototrofik
Oke setelah kita membicarakan mengenai ekologi bakteri fototrofik di lautan, sekarang kita akan membicarakan mengenai pemanfaatan beberapa golongan dari bakteri tersebut. salah satu ciri yang paling mencolok dari bakteri fototrofik adalah kemampuannya dalam melakukan fototrofi. Untuk melakukan hal tersebut, mereka pasti membutuhkan apa yang disebut sebagai pigmen klorofil, bakterioklorofil, dan segala aksesorinya. Ya, singkat kata mereka itu berwarna. Nah penelitian mengenai kandungan pigmen yang dimiliki oleh bakteri fototrofik menunjukan sifat antioksidan yang kalau di iklan-iklan katanya baik untuk kesehatan. Nah dari segi ini kita bisa memanfaatkan pigmen mereka sebagai pewarna makanan karena selain mempercantik makanan bagi para Homo sapiens, ternyata menyehatkan juga kan. Tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan pewarna makanan yang dihasilkan dari bakteri fototrofik kelak akan menggantikan dominansi pewarna makanan yang dihasilkan dari tumbuhan menimbang dari kecepatan produksinya dalam skala besar. Selain itu, pigmen bakteri ini juga dapat menurunkan resiko kesehatan karena dapat menggantikan pewarna tekstil yang juga banyak dipakai sebagai pewrna makanan. Selain sebagai pewarna makanan, bakteri fototrofik sebagai salah satu kelompok bakteri dengan keanekaragaman metabolisme yang sangat tinggi juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang dinilai menguntungkan bagi para Homo sapiens. Salah satu contohnya adalah penghasilan senyawa anti-bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri parasit pada ikan oleh salah satu anggota kelompok bateri fotoheterotrofik. Hal ini tentunya menguntungkan dalam sektor akuakultur karena dapat menurunkan angka kematian larva/benih ikan akibat infeksi bakteri parasit. itulah dua contoh yang sekiranya saia tahu (karena menyangkut penelitian yang saia kerjakan hehehe) disamping masih banyak lagi pemanfaatan potensi lainnya dari bakteri fototrofik baik dari segi industri, kesehatan, bahkan ilmu pengertahuan.


Akhir Kata
Sampai disinilah akhir dari artikel 'Bukan Tulisan Ilmiah' berjudul Bakteri Fototrofik: Si Pemanen Matahari yang dapat saia ceritakan. Dapat saia simpulkan bahwa bakteri fototrofik merupakan kelompok bakteri yang sangat beragam di dunia ini dan disatukan oleh satu macam sifat, yaitu kemampuannya dalam memanfaatkan sinar matahari untuk mendukung kehidupan. Keanekaragaman bakteri ini baik dalam hal jenis, kekerabatan, metabolisme, hingga pemanfaatan merupakan sebuah cerminan betapa luasnya kehidupan yang dimiliki oleh makluk kecil ini. Sebagai penutup mari kita coba bayangkan bersama kalimat yang saia tuliskan pada awal part III ini untuk keseluruhan cerita Bakteri Fototrofik: See Small and Think Big.


Regards,
Victor Aprilyanto

Senin, 16 Agustus 2010

Bakteri Fototrofik: Si Pemanen Matahari (Part II)


Nah, kembali lagi dan lagi-lagi kembali bersama saia dalam artikel 'Bukan Tulisan Ilmiah' yang akan membahas kelanjutan dari Bakteri Fototrofik: Si Pemanen Matahari. Pada Part II ini saia akan mencoba membahas mengenai keanekaragaman atau macam-macam bakteri fototrofik yang ada di dunia. Emm, sepertinya dari bahasanya agak terlalu muluk yah hehehe...tapi ga apa-apa lah, namanya juga usaha. Selain itu saia juga akan mengajak kita berkenalan dengan nama-nama bakteri yang termasuk dalam kelompok-kelompok tersebut. Yah tak kenal maka tak sayang, begitulah kata tukang nasi goreng (kok lagi2 yah). Lagipula ga asik juga kan kalo melihat dunia mikrobiologi itu hanya tahunya Escherichia coli terus, hehehe. Oke sebelum kita beranjak menuju keanekaragaman semua bakteri tersebut, terlebih dahulu saia ingin membicarakan mengenai istilah yang akan dipakai dalam dunia para bakteri fototrofik ini. Well, enjoy your reading ^^

Pengantar

Keanekaragaman bakteri fototrofik atau yang sering juga disingkat menjadi fototrof dapat dipandang dari banyak sisi. Beberapa diantaranya adalah keanekaragaman proses fototrofi, tempat hidup, hingga kekerabatan antar bakteri. Nah, hal yang perlu dijelaskan disini terkait dengan istilah yang akan digunakan nantinya. Perlu diketahui bahwa fototrofi merupakan kemampuan bakteri dalam menggunakan sinar matahari untuk mendukung kehidupannya. Dalam bahasan nanti akan dikenal dua jenis fototrofi, yaitu fotoautotrofi dan fotoheterotrofi. Istilah autotrof dan heterotrof didasarkan pada bagaimana cara bakteri tersebut membuat senyawa organik. Autotrofi merupakan kemampuan yang dapat membuat senyawa organik dari bahan dasar gas karbon dioksida, sementara heterotrof merupakan kemampuan membuat senyawa organik dari bahan dasar senyawa organik pula. Seiring dengan itu, apabila kita berbicara dengan Cyanobacteria yang mengisi bumi ini dengan oksigen seperti pada cerita sebelumnya, maka terdapat dua macam sifat fototrofi terkait dengan oksigen ini, yaitu fototrofi oksigenik (menghasilkan oksigen) dan fototrofi anoksigenik (tidak menghasilkan oksigen). Setelah itu, kita akan mendefinisikan sedikit mengenai fotosintesis, itu loh yang sering disebut-sebut sebagai memasak makanan dengan sinar matahari. Fotosintesis merupakan proses yang terdiri dari dua tahapan, yaitu fototrofi dan sintesis/perangkaian karbon. Sintesis karbon yang dimaksud adalah proses bagaimana membuat senyawa organik (karbon organik) dari bahan dasar karbon dioksida (karbon anorganik). Kemampuan bakteri dalam proses ini sering juga disebut sebagai autotrofi. Jadi fotosintesis merupakan gabungan dari fototrofi dan autotrofi. Nah gimana? Sudah cukup bingung? Hmm...saia rasa itu saja beberapa istilah yang mungkin akan sering digunakan dalam bahasan berikutnya dan sekarang mari kita tinjau bakteri-bakteri fototrofik tersebut.


Cyanobacteria - Si Hijau Pemberi Kehidupan

Saia rasa memang itulah julukan yang tepat bagi Cyanobacteria, karena perannya dalam mengisi bumi ini dengan oksigen. Beberapa bakteri dari kelompok (Phylum) Cyanobacteria yang perlu kita kenal adalah Synecococcus, Oscillatoria, Nostoc, Anabaena, dan Prochloron. Pada umumnya Cyanobacteria hidup pada permukaan perairan dan memiliki bentuk mulai dari bulat koloni hingga berfilamen seperti benang. Cyanobacteria memiliki pigmen berupa klorofil-a dan fikosianin yang secara berturut-turut berwarna hijau dan biru, salah satu sebab mengapa kelompok ini juga sering disebut alga hijau-biru (blue-green algae, Cyanophyta). Namun sekelompok kecil dari Cyanobacteria yang disebut sebagai prochlorophytes (pro = sebelum; chlorophytes = tumbuhan) memiliki komposisi pigmen berupa klorofil-a dan klorofil-b yang tepat sama seperti tumbuhan hijau, sehingga diduga kuat bahwa mereka merupakan nenek moyang dari tumbuhan darat sekarang ini. Cyanobacteria merupakan bakteri fototrofik oksigenik yang bersifat autotrof, yaitu menghasilkan oksigen dalam proses fototrofiknya dan juga dapat menghasilkan senyawa organik dari karbon dioksida. Penghasilan oksigen sebagai gas buang (waste product) dalam proses fototrofiknya sangat berperan besar dalam menciptakan beragam kehidupan ketika masa awal bumi. Hal ini disebabkan oksigen yang terkumpul di atmosfer kemudian akan membentuk lapisan ozon yang menangkal radiasi ultraviolet matahari yang bersifat mematikan, sehingga memungkinkan adanya kehidupan di daratan yang sebelumnya tidak bisa karena terus terpapar radiasi ultraviolet. Hmm...rasanya enak yah kalau kita punya pigmen seperti klorofil itu, kalau lapar ya tinggal berjemur saja beberapa saat dan langsung kenyang. Selain itu, kita juga bisa menghasilkan oksigen, jadi mengeluarkan gas untuk dihirup kembali, hehehe....Oke sekarang kita beranjak ke masalah autotrofi (sintesis karbon organik). Berbicara mengenai autotrofi, sebagian besar orang biologi pasti mengenal yang namanya siklus Calvin. Ya berkat siklus itulah si tumbuhan bisa memasak makanannya dengan benar dan wuala This is It!!! karbohidrat amilum ala chef Oryza sativa. Yup, proses itulah yang juga dilakukan oleh Cyanobacteria untuk memasak makanannya, tidak heran kelompok ini juga disebut sebagai salah satu produsen primer ekosistem perairan.


Green Sulfur Bacteria (Chlorobi)

Asal mula penamaan berasal dari kemampuan kelompok bakteri ini untuk hidup pada lingkungan dengan kadar asam belerang (H2S) yang tinggi. Contoh bakteri dari kelompok ini adalah Chlorobium dan Prothecochloris. Kelompok green sulfur bacteria (selanjutnya disingkat GSB) memiliki tempat hidup pada lingkungan yang memiliki kadar oksigen rendah namun juga tetap mendapatkan sinar matahari, yaitu pada permukaan sedimen perairan. Kondisi ini ternyata tidak cukup menguntungkan karena sinar matahari yang menembus lapisan perairan akan semakin berkurang seiring dengan kedalaman, sehingga hanya sedikit cahaya yang mencapai dasar perairan. Hal ini sudah diantisipasi oleh kelompok GSB karena mereka memiliki pigmen berupa bakterioklorofil-a, c, d, dan e pada suatu struktur di dalam selnya yang disebut klorosom (chlorosome). Ternyata klorosom tersebut memang sangat efisien dalam menangkap sinar matahari bahkan dalam kadar/intensitas yang rendah, sehingga memungkinkan bakteri tersebut untuk bersifat fototrofik. Dalam proses fototrofi, GSB berbeda dengan Cyanobacteria karena GSB tidak menghasilkan oksigen sebagai gas buangnya, tetapi menghasilkan deposit belerang. Hal ini disebut sebagai fototrofi anoksigenik dan buangan belerang itu menjadi satu keunikan tersendiri dari kelompok GSB, yakni mereka merupakan penimbun belerang, karena mereka dapat mengubah asam belerang menjadi belerang dalam proses metabolismenya. Manusia sih dijamin ga akan bisa deh, mencium bau kentut yang busuk (karena mengandung asam belerang) saja langsung kabur, hehehe...Oya, perlu diketahui juga bahwa GSB itu dapat berfotosintesis juga loh. Nah disini kita harus tahu bahwa bersifat fototrofik saja belum tentu bisa berfotosintesis loh. Proses autotrofi yang dilakukan oleh GSB ternyata berbeda dari Cyanobacteria, alias GSB tidak menggunakan siklus Calvin melainkan suatu proses yang disebut sebagai Reverse Tricarboxylic Acid Cycle (rTCA cycle). Em, saia tidak akan berbicara mengenai detail siklus rTCA ini karena ini kan 'Bukan Tulisan Ilmiah', jadi cukup sekedar tahu saja, hehehe...


Purple Sulfur Bacteria (Proteobacteria)

Seperti halnya GSB, kelompok ini dinamakan demikian karena kemampuannya untuk hidup pada daerah dengan kadar asam belerang (H2S) tinggi. Contoh bakteri yang tergolong dalam kelompok ini adalah Ectothiorhodospira dan Chromatium. Kelompok purple sulfur bacteria (selanjutnya disingkat PSB) umumnya hidup di permukaan sedimen perairan yang mengandung asam belerang tinggi dan terkena sinar matahari. Namun ada satu ciri spesifik dari tempat hidup PSB, yaitu sebagian besar anggotanya merupakan penghuni perairan dengan kadar garam yang tinggi, beberapa bahkan sangat tinggi. Dengan demikian, PSB akan banyak ditemui pada sedimen perairan laut yang memiliki deposit/simpanan asam belerang yang tinggi. Jadi, kalau kita mendengar nama Laut Merah, mungkin itu karena ada banyak bakteri PSB kali yah hehehe. Oke kali ini mengapa kelompok tersebut diberi gelar purple? Yang pasti sih bukan karena bakteri ini sangat berjasa dalam menolong Amerika memenangkan perang sehingga diberi penghargaan Purple Heart kayak di film-film itu loh. Sebenarnya memang bakteri-bakteri PSB itu berwarna ungu karena mengandung dua golongan pigmen dalam sel nya, yaitu pigmen bakterioklorofil-a yang berwarna biru dan karotenoid yang berwarna merah. Jadi kalau merah dicampur biru jadi apa? yaa ungu lah, hehehe. Nah karena PSB hidup di permukaan sedimen, terkadang hanya sedikit sinar matahari yang mencapai dasar perairan yang agak dalam sehingga agak menyulitkan proses fototrofik nya. Namun PSB sudah menanggulangi hal tersebut dengan pigmen bakterioklorofil-a yang sangat efisien dalam menangkap sinar matahari meskipun dalam jumlah/intensitas yang sedikit. Perbedaannya dengan GSB adalah bahwa pigmen bakterioklorofil-a ini tidak terdapat dalam klorosom, melainkan pada membran selnya yang melekuk kedalam (invaginasi membran). Apakah itu? nah bayangkan saja sebuah ban sepeda baru yang lingkaran sempurna dengan ban sepeda yang juga baru.....baru habis tabrakan, dengan lekukan disana-sini. Nah tepatnya pada lekukan seperti itulah pigmen bakterioklorofil itu berada. Selain perbedaan, ada juga persamaan antara PSB dengan GSB, yaitu bahwa keduanya bersifat fototrofik anoksigenik dan juga penimbun belerang. Kelompok PSB memiliki sebagian anggota yang bersifat autotrof via siklus rTCA, namun sebagian besar anggotanya bersifat fotoheterotrof, yaitu melakukan sintesis senyawa organik dari bahan dasar berupa senyawa organik juga.


Green Non-sulfur Bacteria (Chloroflexi)

Nah apa lagi ini? Kok ada yang non-sulfur? Pemberian nama seperti itu berawal dari salah kira para ahli mikrobiologi kita di jaman dahulu kala. Mereka mengira ada sekelompok bakteri yang mirip dengan GSB, namun ternyata justru tidak dapat hidup apabila terdapat asam belerang. Yah sebenarnya sih mereka bisa-bisa saja hidup dengan kehadiran asam belerang itu, namun tidak dalam kadar yang tinggi seperti halnya golongan GSB. Kelompok green non-sulfur bacteria (selanjutnya disingkat GnSB) dicontohkan dengan bakteri bernama Chloroflexus dan Heliothrix. Apabila dipandang dari struktur selnya GnSB terlihat seperti gabungan antara GSB dengan PSB, khususnya dalam pengaturan pigmen fototrofiknya. Dipandang mirip dengan GSB karena memiliki bakterioklorofil-c yang berada dalam klorosom, dan juga dipandang mirip dengan PSB karena memiliki bakterioklorofil-a yang berada pada invaginasi membran. Hmm...bakteri yang tidak konsisten. Data mengenai analisis kekerabatan (atau analisis persaudaraan) antar bakteri menunjukan bahwa golongan GnSB merupakan bakteri yang primitif. Hal ini dibuktikan dengan 'peralatan' serta mekanisme fotosintesis, tempat hidup dan juga analisis terhadap DNA GnSB yang hasilnya serba primitif. Apabila kita meninjau kembali pada Part I yang bercerita mengenai kondisi awal bumi, saat tersebut merupakan saat yang panas sehingga mahluk yang hidup pada zaman tersebut haruslah tetap cool alias tahan panas. Ternyata anggota GnSB memiliki tempat hidup di perairan dengan suhu tinggi, seperti di sumber mata air panas yang suhunya diatas 50C. Nah bayangkan, kita saja yang hidup pada daerah dengan suhu 28-30C sudah sering menulis status 'panas' atau 'memohon hujan' kepada dewa Facebook. Analisis DNA juga menunjukan bahwa golongan GnSB (Phylum Chloroflexi) terletak di bagian bawah 'pohon kehidupan' (Phylogenetic Tree of Life), menandakan bahwa GnSB merupakan bakteri fototrofik paling primitif/kuno sedunia. Golongan GnSB bersifat fototrofik anoksigenik, yaitu tidak menghasilkan oksigen seperti layaknya Cyanobacteria. Proses autotrofi pada GnSB pun lain daripada yang lain, bukan siklus Calvin atau rTCA yang sudah cukup modern, melainkan siklus hydroxypropionate yang juga umum pada bakteri-bakteri autotrof non-fototrof primitif.


Purple Non-sulfur Bacteria (Proteobacteria)

Ada green non-sulfur ya ada purple non-sulfur juga, ga mau kalah gituh. Hmm..bisa dikatakan bahwa kelompok ini merupakan kelompok yang paling besar baik dalam hal daftar keanggotaan maupun keragaman metabolisme dan disatukan atas satu hal seperti yang tertera pada nama golongannya, tidak dapat hidup pada kodisi kadar asam belerang tinggi. Beberapa contoh dari purple non-sulfur bacteria (selanjutnya disingkat PnSB) adalah Rhodospirillum, Rhodobacter, Rhodopseudomonas, Roseobacter, dan Erythrobacter. Tidak seperti golongan bakteri fototrofik lainnya yang memiliki persamaan sifat seluruh anggotanya dalam hal kebutuhan oksigen; seperti Cyanobacteria yang aerob (membutuhkan oksigen untuk hidup) atau GSB, PSB, & GnSB yang anaerob (tidak membutuhkan oksigen untuk hidup); golongan PnSB memiliki anggota yang bersifat aerob dan juga anaerob. Oya, perlu ditekankan disini bahwa definisi aerob dan anaerob dalam konteks bakteri fototrofik adalah terkait dengan sintesis pigmen fototrofiknya. Jadi GSB yang bersifat anaerob bisa saja tetap hidup apabila terkena oksigen, tetapi tidak menghasilkan pigmen bakterioklorofil atau singkatnya tidak berwarna. Hal mengenai aerob dan anaerob ini sepertinya baru disinggung disini, jadi jangan sampai tertukar dengan definisi oksigenik dan anoksigenik (kemampuan menghasilkan oksigen) yah. Berdasarkan sifat ini PnSB terbagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Anaerobic Anoxygenic Phototroph (AnAP) dan Aerobic Anoxygenic Phototroph (AAP). Keragaman metabolisme dari PnSB yang begitu besar membuat tempat hidup dari golongan ini sangat beragam, mulai dari permukaan perairan, dasar perairan, di dalam tanah, permukaan alga/rumput laut, bahkan hingga hidup di dalam (berasosiasi) dengan protozoa. Sebagian besar anggota PnSB bersifat fotoheterotrof seperti pada PSB. Kemampuan heterotofi (penggunaan senyawa organik) pada PnSB merupakan yang terhebat diantara seluruh bakteri. Golongan PnSB ini dapat memanen sumber karbon (memakan) dari karbohidrat, lemak, protein, hingga pestisida atau senyawa kimia beracun lainnya. Pigmen yang umum dihasilkan oleh golongan PnSB adalah bakterioklorofil-a dan macam-macam karotenoid, sehingga membuatnya menjadi berwarna ungu atau merah. Secara kekerabatan, PnSB bersama dengan PSB termasuk dalam kelompok (Phylum) Proteobacteria yang merupakan phylum terbesar dari Domain Bacteria.


Yah jadi itulah macam-macam golongan bakteri fototrofik yang ada hingga saat ini. Berikutnya pada Part III saia akan mengajak kita untuk mengenal asosiasi antar golongan-golongan tersebut bersama dengan bakteri lainnya di ekosistem perairan dan juga memperkenalkan beberapa potensi dari golongan bakteri ini yang dapat diaplikasikan. Demikianlah akhir dari Part II ini.

Jumat, 13 Agustus 2010

Bakteri Fototrofik: Si Pemanen Matahari (Part I)



Kembali lagi dalam artikel 'Bukan Tulisan Ilmiah'. kali ini saia akan mengangkat sebuah tema yang cukup terasa asing bagi kita semua pada umumnya, yaitu bakteri. Nah apakah yang dimaksud dengan bakteri? Terlebih lagi bakteri fototrofik, apakah gerangan itu? Yasudah, mari nikmati saja bacaan dibawah ini untuk kelanjutannya dan yang pasti tulisan ini dibuat agar dimengerti oleh semua orang kok, toh namanya juga 'bukan tulisan ilmiah'. Well, enjoy your reading ^^/

Pengantar

Seperti biasa, kita akan memulai semua ini dari sebuah definisi. Bakteri adalah sekelompok mahluk hidup yang cukup kecil untuk dilihat dengan mata telanjang, yaa setidaknya kalau mereka sedang sendirian. Dimanakah bakteri tersebut berada? Ya sebagian besar orang mengatakan bakteri hanya banyak terdapat di rumah sakit, sehingga dari tempat itulah bakteri sering disamakan dengan kuman. Sebenarnya hal itu terlalu sempit karena bakteri itu terdapat dimana-mana dan perannya pun lebih dari sekedar penyebab penyakit. Nah maka dari itu saia ingin membahas satu kelompok bakteri yang memiliki sejarah kehidupan yang panjang serta perannya yang juga sangat besar di dunia ini, dalam mengawali sebuah kehidupan. Kelompok bakteri ini sebenarnya merupakan gabungan dari tiga kelompok bakteri yang disatukan karena satu sifat, fototrofi. Kata 'fototrofik' berasal dari gabungan dua kata, yaitu 'foto' yang berarti cahaya dan 'trofik' yang berarti makanan. Jadi, bakteri fototrofik merupakan sekelompok bakteri yang dapat menggunakan sinar matahari untuk mendukung kehidupannya. Ya seperti kata guru kita sewaktu masih sekolah dasar, tumbuhan 'memasak' makanannya dengan bantuan sinar matahari, jadi ya kurang lebih seperti itulah bakteri fototrofik. Namun bukan berarti bahwa tumbuhan itu merupakan bakteri loh. Kemampuan menggunakan sinar matahari ini membagi bakteri menjadi tiga kelompok, yaitu Cyanobacteria, Green Bacteria, dan Purple Bacteria. Kemudian, kelompok Green dan Purple Bacteria ini masing-masing terbagi lagi menjadi dua, yaitu sulfur dan non-sulfur berdasarkan kemampuan menggunakan bahan kimia sulfur/belerang. Dengan demikian, terdapat total lima kelompok bakteri yang dapat bersifat fototrofik. Secara umum, bakteri ini banyak terdapat di permukaan perairan yang terkena sinar matahari, baik di lautan maupun di sungai dan danau. Bentuk sel bakteri fototrofik secara umum serupa dengan bakteri lainnya. Namun terdapat satu ciri yang membedakan bakteri fototrofik dengan bakteri lainnya, yaitu pigmen atau zat warna. Semua bakteri fototrofik pasti selalu memiliki pigmen yang terkandung dalam sel nya karena pigmen ini yang membantu dalam proses fototrofi.

Memanen Kehidupan dari Matahari

Pada dasarnya, sifat fototrofi secara harfiah berarti memanen matahari. Artinya adalah menggunakan energi matahari untuk mendukung kehidupan. Ketiga kelompok bakteri tersebut memiliki cara sendiri dalam memanen matahari. Bakteri hijau dan ungu (green & purple bacteria) maupun Cyanobacteria menggunakan pigmen untuk menangkap energi matahari dan energi tersebut harus diubah ke bentuk kimia agar dapat digunakan untuk proses selanjutnya. Nah disinilah perbedaan antara Cyanobacteria dengan bakteri hijau & ungu, karena Cyanobacteria menyimpan energi tersebut dalam molekul air (H2O), sedangkan bakteri hijau & ungu menyimpannya dalam molekul asam belerang (H2S). Energi yang disimpan ternyata cukup besar hingga dapat memecah kedua molekul tersebut secara berturut-turut menghasilkan ion hidrogen (H+) bersama dengan oksigen (O2) pada Cyanobacteria atau belerang (S0) pada bakteri hijau/ungu. Ion hidrogen inilah yang kemudian memasuki proses selanjutnya untuk mendukung kehidupan bakteri fototrofik tersebut.

Mengawali Sebuah Kehidupan Bumi

Banyak orang tentu bertanya-tanya bagaimana terjadinya awal kehidupan di bumi ini, setidaknya dari sudut pandang ilmiah. Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa pertama kali bumi terbentuk adalah sekitar 4,5 milyar tahun lalu dan keadaannya jelas berbeda dengan keadaan bumi sekarang ini. Satu hal yang paling membedakan adalah bahwa bumi pada saat itu belum ada oksigen, gas yang kita hirup dengan gratis sekarang ini. Seperti namanya yaitu awal kehidupan, jangan berharap juga ada padi, buah-buahan, ikan, sapi, apalagi tukang nasi goreng. Bakteri fototrofik termasuk salah satu kelompok yang ada pada masa-masa awal bumi. Kemunculannya diawali oleh kelompok bakteri ungu dan seiring dengan berjalannya proses evolusi, maka berkembanglah kelompok bekteri fototrofik lainnya, termasuk Cyanobacteria yang mengisi bumi ini dengan gas oksigen buangannya. Oksigen yang memenuhi atmosfer udara hingga kurang lebih 21% ini menjadi pemicu perkembangan keanekaragaman kehidupan selanjutnya di bumi sampai hari ini.

Sabtu, 07 Agustus 2010

How to Memorize Translation Table in an Easier Way


Translation table is common to all biology students which functions to explain in which forms of amino acids do the codon triplets translated. This amino acids is then assembled in a such
sequence and also foleded in such way to make proteins, the machinery of life. I oftenly heard that many student said memorizing translation table is so difficult, and some other said it's almost impossible. Actually such a table is not necessary to be memorized because I think it's kinda silly since we have all the database. But biology students who want to join IBO, for example, need to memorize that because translating codons becomes one of the question. Thereby, I posted this note with a hope that it can help biologist and biology student who are concerning about codons.

Okay, first of all I posted the image above and please take a look at it for a moment. In that image there're notations of ribonucleotides which are represented by their nitrogenous bases. There are 4 nitrogenous bases consist of Adenine (A); Guanine (G); Cytosine (S, instead of C because I wrote it in an Indonesian notation); and Uracil (U). After that, please take a look at the circle diagram. It consist of three regions of ribonucleotide notations and three of those nucleotides -the inner, middle, and outer ribonucleotides respectively- make one set of codon. So there are 64 codons can be made from those ribonucleotide triplets, while there are only 20 standard amino acids as the basic building blocks of protein. That's why one or more amino acids have a triplet redundancies. Below the diagram I also wrote the three-letter and one-letter symbols of amino acids. Those are standard notations for amino acids and I'm sure we have known for that.

After watching details of the image, then try to split up the circle into 4 quadrants and name them. Example, start the first quadrant in the Adenine inner region (A) and then clockwisely to the second (G) and so on. Thereby you'll get "AGUS" notations for the inner circle region. Continue for the middle and outer region in the same way and you'll get "USAG" notations. Now let's go to the main problem, memorizing amino acids for each triplets. Well take a look that in this order, more than one triplets are clumped into one region of amino acid. So instead of memorizing 64 triplets, we only have to memorize 20 regions of amino acids coded by those triplets. Easier isn't it? Next, memorize the number of triplets for each amino acid region and combine them just like a combination number. Example, if you start in the first quadrant (A quadrant), you'll get 3-1-4-2-2-2-2 combination code. That 7-digit code stands for 7 different amino acids and each digit represents the sum of codon triplets which making one type of amino acids. After that, memorize the amino acids just like the sequence of the combination number and you can make a short names or just memorize the one letter symbol. I prefer making short names because one-letter symbols sometimes phonemly don't match the pronounciation of the amino acid names and might causing mistaken memorizing. So, the code 3-1-4-2-2-2-2 stands for Il-Met-Th-As-Ly-Ser-Arg and means that 3 triplets (AUU, AUS, AUA) making Isoleucine, 1 triplet (AUG) making Methionine or start codon, and so on. With this way, you only have to memorize the combination number and the amino acid names per quadrant, easier than 64 randomly ordered triplets.

Some additions:
- Quadrant II (G region): 4-4-2-2-4 stands for VADEG (one letter symbol for Valine, Alanine, Aspartate, Glutamate, Glycine)
- Quadrant III (S region): 2-2-4-2-2-2-1-1 stands for Phe-Leu-Ser-Tyr-Stop2-Cys-Stop1-Tr(y)p
- Quadrant IV (U region): 4-4-2-2-4 stands for Leu-Pro-His-Gln-arg

Important !!
To name the triplet-to amino acid correctly, you really need to place those ribonucleotides notations in a correct order. So I suggest to practice making the circle and place the notations. After that you can continue by placing the regions, codes, and amino acids.

Hope this can be helpful in helping friends who's troubled by translation table.

Regards,
Victor

Selasa, 03 Agustus 2010

Cetacea: Sebuah Bangsa Besar yang Terancam (Part III)




Tulisan ini merupakan bagian ketiga sekaligus bagian terakhir dari artikel 'bukan tulisan ilmiah' yang berkisah tentang Cetacea. Pada bagian terakhir ini saia mencoba memaparkan mengenai pola migrasi, implikasi manusia, serta upaya konservasi yang dilakukan. Well enjoy your reading ^^

Jalan-jalan Yuk
Berbicara mengenai migrasi, bangsa Cetacea memiliki catatan historis yang sangat memukau. Namun dari kedua kelompok, hanya kelompok paus bersurai yang mengadakan migrasi tahunan berkeliling dunia. Lalu kenapa paus bergigi tidak? yaa sepertinya hal ini terkait dengan tipe makanannya. Paus bergigi tidak perlu repot-repot karena justru beberapa mangsanya yang mengadakan migrasi tahunan. Dengan demikian para paus bergigi ini hanya perlu menunggu di tempat yang tepat untuk menyergapnya. Paus bersurai dalam hal ini perlu mengadakan migrasi tahunan karena terkait dengan ketersediaan makanan dan urusan melahirkan. Hebat juga yah, mau melahirkan saja harus jalan-jalan dulu. Paus yang memiliki catatan perjalanan yang cukup lengkap adalah paus Gray (Eschrichtius robustus) dan paus bongkok / humpback (Megaptera novaengliae).

Oke, perjalanan migrasi keluarga Megaptera novaenglie akan dimulai dari belahan bumi utara, yaitu perairan Alaska menjelang akhir bulan September. Apakah semua sudah berkemas-kemas? jangan sampai ada yang ketinggalan dan semua harus sudah makan kenyang lohh khususnya bagi yang sedang hamil. Ya kira-kira itulah persiapan sebelum melakukan perjalanan panjang ke perairan tropika yang lebih hangat. Mereka harus makan banyak karena krill melimpah di perairan dingin. Paus umumnya akan berangkat dalam kelompok-kelompok kecil, namun ada juga yang berangkat sendiri. Yah kelompok memang kecil, tapi ukuran badan bisa berkata lain. Beberapa betina yang ikut dalam perjalanan sudah dalam keadaan hamil beberapa bulan dan akan melahirkan anaknya ketika di perairan tropika nanti. Perjalanan ini cukup memakan waktu dan kira-kira mereka akan sampai di perairan tropika, yaitu teluk Meksiko pada pertengahan Desember. Di tempat ini, paus betina akan melahirkan dan menyusui anaknya hingga siap untuk ikut melakukan perjalanan balik, sementara paus jantan akan kawin dengan betina yang belum hamil. Pemberangkatan balik ke laut utara dilakukan sekitar bulan Maret dan mereka akan sampai kembali ke perairan Alaska sekitar akhir Mei. Perjalanan balik ini lebih berat dibandingkan perjalanan pergi karena dalam perjalanan balik ini mereka berenang melawan arus. Perairan tropika yang lebih hangat akan mengalir ke utara dimana perairannya lebih dingin sehingga air di perairan utara akan mengalir ke selatan, tepat melawan perjalanan mereka yang menuju utara. Ketika akhirnya mereka mencapai perairan utara di Alaska, berakhir sudah perjalanan tahunan sepanjang 18.000 km dari paus yang berhabitat di perairan utara. Memang cukup jauh, apalagi ditempuh dengan sedayung demi sedayung. Lalu bagaimana dengan paus yang berhabitat pada perairan di belahan bumi selatan, tepatnya di antartika? well, sebenarnya perjalanan mereka kurang lebih mirip seperti kerabatnya di utara, namun yang membedakan adalah waktu perjalanan. Hal ini disebabkan pada akhir September, bumi bagian selatan justru menghangat. Denngan demikian mereka baru melakukan perjalanan ke perairan tropika pada akhir Mei, ketika kerabatnya sudah kebali ke belahan utara.

Namun selama perjalanan bagaimana paus mengingat rutenya? Tentunya hal ini sama sekali berbeda dengan rute daratan karena di perairan tidak ada 'jalan', beberapa penunjuk tempat (landmark) pun cukup jarang dan jangan harap mereka memiliki peta seperti yang saia gunakan untuk menuliskan pola migrasi mereka. Namun pada kenyataannya, mereka sungguh memiliki sistem pemetaan dalam otak mereka yang sepertinya berhubungan dengan medan magnet bumi. terlepas dari sistem pemetaan yang canggih itu, paus juga perlu mengingat beberapa lokasi dan terkadang menjadi tepat persinggahan khususnya bagi betina yang membawa anaknya untuk menghindari para paus pembunuh (Orcinus orca).

Apa yang dilakukan oleh mahluk berkaki dua itu??
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran manusia (Homo sapiens) bersama segala aktivitasnya telah mengakibatkan berbagai dampak terhadap lautan, dan itu berarti juga berdampak terhadap bangsa Cetacea dimanapun mereka berada. Dampak tersebut dapat berefek positif dan juga negatif, namun pada segmen ini kita akan membicarakan mengenai dampak negatifnya terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan manusia sepertinya lebih banyak dibandingkan dampak positif yang dibuatnya.

Dampak negatif manusia terhadap bangsa Cetacea dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berdampak langsung dan tidak langsung. Contoh dampak negatif langsung adalah perburuan paus secara massal, polusi suara bawah air, dan lainnya. Kemudian dampak tidak langsung meliputi polusi lautan dengan berbagai macam produk yang pernah dibuang manusia. Oke, mari kita bahas satu per satu. Telah dibahas sebelumnya bahwa paus sebagai mamalia laut memiliki indera pendengaran yang lebih bagus dibandingkan indera lainnya. Hal ini berarti paus mengandalkan indera pendengaran untuk sebagian besar aktivitas hidupnya. Aktivitas manusia yang menggunakan kapal besar maupun gelombang sonar intensitas tinggi khususnya pada jalur migrasi paus maupun pada daerah yang dekat dengan habitat paus tentunya akan menciptakan keributan di bawah air. Suara-suara tersebut juga ternyata telah mengacaukan sistem echolocating sehingga membuat mereka kehilangan arah perjalanan. Akibatnya adalah paus-paus yang tidak beruntung akan terluka atau bahkan lebih seringnya mati karena tertabrak baling-baling kapal atau terdampar di pantai dan tidak pernah kembali ke laut. Sekalipun aktivitas yang mengganggu kehidupan paus telah dilarang, seperti contohnya penggunaan sonar bawah air intensitas tinggi, angka kematian paus tetap tinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh sebab kedua, yaitu perburuan paus (whaling). Perburuan ini mendatangkan keuntungan yang cukup tinggi karena ukuran paus yang besar. Perburuan paus ini membuat angka kematian paus menjadi sangat tinggi hingga beberapa jenis paus besar seperti paus biru (Balaenoptera musculus) hampir punah.

Selain dampak langsung, terdapat juga dampak tidak langsung yang mengancam kehidupan bangsa Cetacea. Perlahan namun pasti, justru sebenarnya dampak tidak langsung inilah yang sangat mematikan jika dibandingkan dengan kematian akibat perburuan maupun sekedar tabrakan dengan kapal. Polusi berbagai bahan kimia hasil buangan manusia seperti minyak, pestisida, pupuk, logam berat, hingga yang sesederhana sampah plastik dapat berdampak pada kemampuan bertahan hidup bangsa Cetacea. Hal ini disebabkan bahwa semua polusi tersebut mengancam keseluruhan ekosistem lautan yang menjadi habitat bangsa Cetacea ini. Dalam kasus ini, polusi tersebut apabila dibandingkan dengan luasnya lautan tentu tidak berarti apa-apa. Namun apabila kita menggabungkan faktor-faktor seperti aliran arus lautan dan jejaring makanan (trophic foodweb) maka semua akan menjadi jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa Cetacea yang umumnya berada di puncak piramida makanan. Ambil satu contoh, yaitu pencemaran minyak akibat karamnya kapal tanker. Plankton (hewan atau tumbuhan kecil yang melayang-layang di air), krill, burung laut, dan anjing laut yang terkena ternyata berdampak pada menurunnya tingkat kesuburan serta tingkat harapan hidup. Walaupun seandainya kita beranggapan tidak ada paus yang terkena tumpahan minyak pada saat itu, arus lautan akan membantu menyebarkan minyak tersebut ke tempat-tempat yang jauh. Kemudian, berbagai mahluk yang terkena tumpahan minyak mungkin sebagian diantaranya akan langsung mati dan sisanya akan menampung minyak tersebut di dalam tubuhnya. Akibat secara tidak langsung terlihat ketika kita memandang dari segi jejaring makanan karena bangsa Cetacea pasti memerlukan makanan. Paus bersurai akan menyaring plankton dan paus bergigi akan berburu untuk makan, sekaligus mengumpulkan minyak dari makanannya ke dalam tubuhnya. Akhir cerita, seperti yang telah diperkirakan, Cetacea yang sebelumnya kita anggap tidak terkena minyak pun pada akhirnya akan terkena minyak dan segala dampaknya.

Mencoba memperlambat kepunahan atau membaliknya??
Menanggapi segala dampak negatif yang ditimbulkan, maka dibuat serangkaian peraturan kelautan agar dapat meredam laju kematian bangsa Cetacea, khususnya golongan paus besar yang sangat terancam punah. Beberapa diantaranya adalah larangan perburuan paus yang terancam punah, larangan pembuangan limbah di laut lepas, upaya restorasi habitat paus, penelitian mengenai kemelimpahan serta persebaran, dan penetapan status konservasi setiap jenis paus tersebut. Hal tersebut tidaklah mudah dan membutuhkan dana yang sangat besar dari berbagai negara sehingga kemajuannya pun berjalan lambat. Memang pada akhirnya jenis demi jenis paus yang tidak dapat bertahan akan punah akibat perubahan lingkungan, namun sebaiknya kita tidak mempercepat kejadian ini.
Mengkonservasi paus berarti juga mengkonservasi habitat tempat paus hidup. Hal tersebut merupakan tantangan besar karena habitat hidup paus merupakan seluruh lautan yang ada di bumi ini. Tantangan tersebut semakin dipersulit dengan fenomena global warming yang kerap kali diisukan dan akan mengganggu keseimbangan jejaring makanan khususnya di lautan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk meredam segala gangguan terhadap lingkungan laut baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan tanggung jawab kita semua, mahluk unik berkaki dua yang dapat berpikir. Maka untuk sekarang dan di masa depan, bangsa Cetacea yang sedang terancam ini tampaknya memang sedang mempertanyakan kemampuan berpikir kita. Saia pikir cukup tepat juga untuk mengatakan bahwa bangsa ini berharap bahwa semoga laju kematian anggota-anggotanya dapat diimbangi atau bahkan dikalahkan dengan kemajuan konservasi yang dilakukan. Secara tidak langsung, kita para manusia yang bertempat tinggal jauh dari laut pun dapat berkontribusi dalam mengurangi laju kematian ini. Data yang ada menunjukan bahwa limbah rumah tangga perkotaan turut menyumbang hampir sepertiga dari total limbah yang masuk ke lautan. Berani merusak, berani juga bertanggung jawab. Walaupun kita tidak dapat mengurangi jumlah yang sudah ada, paling tidak kita dapat menekan penghasilan limbahnya.

Akhir kata
Yah demikianlah mengenai apa yang dapat saia tuliskan mengenai sebuah bangsa yang terancam punah. Dapat saia simpulkan bahwa seperti layaknya manusia, bangsa Cetacea dengan segala keunikannya merupakan mahluk hidup yang berbagi tempat dengan kita di bumi ini. Tentu menjadi sebuah keindahan tersendiri disaat kita mengenal bangsa Cetacea lebih dekat, mempelajari perjuangan adaptasi dan evolusi terhadap lingkungan perairan, penyesuaian jenis makanan, hingga migrasi tahunan. Bersamaan dengan itu, cukup menyedihkan juga mengetahui bagaimana perilaku kita baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlah berakibat buruk terhadap bangsa yang unik ini. Lalu bagaimana tanggung jawab kita terhadap Ordo Cetacea? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan tindakan yang kita lakukan sekarang dan di masa depan. Tindakan yang seperti apakah itu? Yaa perubahan jumlah Cetacea di lautan bumi ini yang akan menjawabnya.

Victor Aprilyanto
2 Agustus 2010

Sumber: dan sekali lagi, dari berbagai sumber...

Cetacea: Sebuah Bangsa Besar yang Terancam (Part II)


Tulisan ini merupakan bagian kedua dari 'bukan tulisan ilmiah' yang berjudul Cetacea: Sebuah Bangsa yang Terancam. Pada tulisan kedua ini saia mencoba untuk menjelaskan mengenai bagaimana bangsa Cetacea yang besar ini hidup di laut dan juga mengenai perilaku-perilaku yang dimilikinya. Akhir kata, selamat membaca dan semoga tulisan ini mudah dimengerti ^^

Persiapan untuk menetap di lautan bebas
Sebagai mamalia, ternyata banyak penyesuaian atau adaptasi yang harus dilakukan oleh bangsa Cetacea karena ternyata evolusi untuk kembali ke lautan tidaklah semudah yang dibayangkan. Penyesuaian organ-organ yang terdapat pada mamalia lebih cenderung ditujukan untuk kehidupan di daratan dibandingkan dengan kehidupan di lautan. Nenek moyang paus, Pakicetus contohnya, memiliki empat tungkai dan paru-paru yang sejatinya dapat digunakan untuk hidup di daratan. Dengan fitur seperti ini, Pakicetus harus kembali ke permukaan cukup sering untuk menghirup udara dan menahan nafasnya ketika berada di dalam air. Perkerjaan yang cukup repot bukan?? Hal yang sama juga masih dilakukan oleh paus maupun lumba-lumba masa kini di seluruh lautan di dunia. Hal yang membedakan adalah, kali ini mereka memiliki sistem yang jauh lebih efisien.

Dalam hal adaptasi, Cetacea merupakan bangsa yang paling teradaptasi untuk keseluruhan kehidupan di laut. Dengan bentuk tubuh menyerupai ikan, tungkai depan yang berubah menjadi sirip, dan adanya sirip ekor horizontal maka tidak heran bahwa bangsa Cetacea merupakan mamalia yang paling sukses beradaptasi di kehidupan laut. Selain adaptasi terhadap lingkungan perairan laut, adaptasi yang lain juga disesuaikan terhadap cara makan. Golongan Mysticeti / paus bersurai makan dengan menyaring air lautan untuk mendapatkan krill maupun ikan-ikan kecil tidak beruntung yang ikut terjebak di dalam surainya. Paus Northern Right (Eubalaena glacialis) dan paus bowhead (Balaena mysticetus) makan dengan membiarkan mulutnya terbuka sambil berenang, sehingga air yang masuk akan keluar lagi melewati surai yang memerangkap krill maupun ikan-ikan kecil. Sedangkan golongan Mysticeti lainnya, yaitu golongan paus rorqual (paus dengan corak garis di bagian bawah mulutnya) makan dengan cara menampung air laut di dalam mulutnya hingga penuh. Garis pada bagian bawah mulutnya merupakan lipatan yang dapat meregang sehingga mulutnya dapat menampung air lebih banyak. Setelah air ditampung, maka lidah bagian dalam akan menekan ke bagian atas mulut sehingga air laut akan keluar kembali melewati surai di sekeliling mulutnya, memerangkap krill atau apapun yang terbawa bersama air. Paus bergigi masih mempertahankan cara makan mirip seperti nenek moyangnya, yaitu dengan memangsa hewan lain yang ukurannya cukup besar. Paus bergigi merupakan pemburu ulung dan dengan kisaran mangsa yang beragam jenisnya. Paus sperma (Physeter catodon) makan dengan berburu cumi berukuran besar pada kedalaman 500-700 meter, sementara paus pembunuh atau paus orca (Orcinus orca) makan dengan berburu kawanan anjing laut atau singa laut. Dalam mencari makan, beberapa jenis paus bersurai dan hampir semua jenis paus bergigi menggunakan sistem 'echolocation' untuk membantu melacak mangsa. Sistem ini menggunakan suatu organ di dalam kepala paus yang dinamakan sebagai melon. Organ melon ini membantu pemancaran gelombang suara ke arah depan. Paus kemudian dapat mendeteksi keberadaan mangsa berdasarkan gelombang suara yang dipantulkan dan masuk melalui telinga.

Adaptasi berikutnya yang dimiliki paus untuk kehidupan perairan adalah mengenai pernafasan. Sebagai mamalia, paus tentu mewarisi organ pernafasan berupa paru-paru, sehingga tidak seperti ikan, paus harus ke permukaan untuk bernafas. Adaptasi pernafasan ini sangat penting untuk memastikan paus memiliki cukup udara ketika menyelam. Beberapa adaptasi yang dilakukan adalah dengan penempatan lubang hidung (nostril) pada bagian atas kepala, sehingga disebut juga sebagai lubang semprot (blowhole) yang sering menyemburkan air ketika paus naik ke permukaan. Untuk perburuan di kedalaman, paus sperma adalah ahlinya. Paus sperma dapat menyelam hingga kedalaman 2 kilometer untuk mencari cumi raksasa sepanjang 10 meter untuk makanannya. Selain adaptasi bentuk tubuh dan cara makan, masih terdapat beberapa adaptasi lain untuk mengoptimalkan gaya hidup pada lautan terbuka. Hal tersebut tentu berjalan seiring dengan proses evolusi bertahap dari waktu ke waktu, menyesuaikan dengan tuntutan seleksi alam khususnya di lautan.

Ketika di laut nanti, berperilakulah yang baik
Satu hal lagi yang membedakan paus dari ikan, yaitu bahwa paus merupakan mahluk sosial yang dapat berkomunikasi dan berkoordinasi. Dengan demikian, jelas semakin salah dengan merendahkan paus sebagai ikan. Dalam hal perilaku, bangsa Cetacea dikenal memiliki perilaku yang cukup rumit degnan tingkat intelejensi yang cukup tinggi. Perilaku yang muncul pada umumnya merupakan implikasi bahwa Cetacea merupakan mahluk sosial, seperti berkumpulnya anggota-anggota sekawanan dari paus sperma mengelilingi salah satu anggota yang terluka, lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) yang membawa anggota sekawanannya yang kelelahan untuk bernafas di permukaan, hingga perilaku 'memata-matai' daerah permukaan seperti yang dilakukan paus orca.

Perilaku paus besar yang cukup terkenal namun juga cukup misterius untuk diprediksi tujuannya adalah melompat ke permukaan (breaching). Bayangkan seekor paus bongkok (Megaptera novaengliae) seberat puluhan ton merambah dan melompat di permukaan air, berputar, dan menjatuhkan kembali tubuhnya ke air. Ya itulah breaching, sebuah pemandangan yang suaranya dapat terdengar hingga berkilometer jauhnya. Tujuan dari perilaku tersebut masih sukar untuk ditebak kepastiannya. Ada yang berarti mengirimkan pesan peringatan terhadap sesamanya, menarik lawan jenis, membersihkan kulit dari parasit yang menempel, atau alasan yang paling sederhana....untuk bersenang-senang. Yah, bukan cuma manusia saja yang sukar untuk ditebak perilakunya, ternyata paus juga sama. Selain itu, ternyata paus juga dapat bernyanyi dan bahkan telah mengeluarkan album The Whale Songs. Suara yang dikeluarkan paus sangat beragam, mulai dari bunyi seperti kicauan, siulan, gonggongan, dan bahkan lenguhan dalam berbagai macam tingkatan nada. Jadi apabila anda mendengar bunyi-bunyi tersebut ketika berada di lautan terbuka, jangan mengira ada burung, anjing, atau sapi di dalam laut...bisa saja itu artinya seekor paus sedang menghampiri anda. Tujuan bunyi-bunyian tersebut utamanya adalah komunikasi. Namun apa komunikasinya? ya bisa mulai dari 'mengobrol' sesama anggota kelompok hingga menyanyikan 'the wedding song' alias menarik betina, menyatakan kesediaan serta kesiapan dari si jantan untuk kawin. Dari semua perilaku tersebut, terdapat perilaku yang cukup aneh dan mungkin hanya dimiliki oleh dua bangsa dalam Classis Mammalia, yaitu bangsa Primata terutama Homo sapiens dan bangsa Cetacea. Perilaku tersebut adalah perilaku bermain, yaitu suatu perilaku tanpa tujuan yang jelas. Mungkin dalam dunia manusia, perilaku tersebut bisa disejajarkan dengan perilaku iseng. Tapi ya biarlah, Cetacea juga memiliki gayanya sendiri untuk berperilaku iseng, yang penting kan HEPI. So...enjoy ^^

Sumber: lagi-lagi berbagai sumber :p

Cetacea: Sebuah Bangsa Besar yang Terancam (Part I)


Pengantar
Anda merasa sudah tahu banyak mengenai bangsa paus atau yang secara taksonomis disebut Ordo Cetacea? Saya rasa tidak...kenapa? karena saya pun juga masih belum tahu banyak hahahaha.... Mungkin beberapa yang membaca tulisan ini merasa bahwa informasi yang dituangkan masih terlalu rendah untuk disebut sebagai tulisan ilmiah. Tapi biarlah, karena ini memang bukan tulisan ilmiah. Ini hanya sebuah tulisan untuk berbagi pengetahuan mengenai setitik informasi dalam khasanah dunia biologi.

Oke, kita mulai dengan sebuah definisi. Ordo (bangsa) Cetacea merupakan sebuah bangsa yang mencakup paus, lumba-lumba, dan pesut yang hidup pada lingkungan perairan dan sebagian besar berada di laut. Masyarakat awam sering menyamakan golongan ini dengan ikan, sehingga memanggilnya dengan sebutan 'ikan paus' atau 'ikan lumba-lumba'. Tentu saja ini merupakan hal yang keliru karena Ordo Cetacea berada dibawah Classis (kelas) Mammalia yang merupakan hewan menyusu dan sebuah hal yang dapat dipastikan adalah ikan tidak menyusu. Yah, Cetacea memang terkenal karena paus dan paus yang umumnya kita kenal merupakan hewan yang besar, beberapa memang sangat besar. Namun ketidakberuntungan bagi mereka, karena kalimat 'big is beautiful' justru ternyta sangat berlawanan dengan kenyataanya. Pada saat ini, beberapa anggota dari bangsa Cetacea yang besar-besar itu justru mendapatkan suatu ancaman. Well, bukan ancaman untuk menguruskan badan, tetapi yang lebih buruk lagi yaitu ancaman akan kepunahan. Lalu, siapa yang mengancam? ya sudah pasti, yang lagi nulis ini, tidak lain dan tidak bukan adalah manusia....suatu spesies yang menamakan dirinya 'si pemikir' (Homo sapiens) alih-alih 'si pemusnah'.

Nah, mengapa mereka terancam punah? ternyata curhatnya mereka menjelaskan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menghasilkan keturunan, alias butuh waktu lama baru punya anak. Mau program KB untuk hewan begini? jangan berharap terlalu tinggi bro. Kemudian ditambah satu masalah lagi bahwa ternyata 'si pemikir' ini sepertinya memang secara tidak tersadarkan telah 'berpikir' untuk memusnahkan mereka....entah apa alasannya. Jadi enaknya gimana? musnahkan atau tidak? yah semoga uraian mengenai bangsa Cetacea berikut ini dapat membantu kita berpikir lebih panjang, lebih lebar, dan lebih dalam membuat kebijakan tersebut. Biar bagaimanapun, karena kita adalah 'si pemikir'.

Klasifikasi dan Deskripsi
Pengelompokan terhadap Cetacea membaginya menjadi dua berdasarkan jenis makanannya, yaitu Mysticeti (Baleen Whales / Paus bersurai) dan Odontoceti (Toothed Whales / Paus bergigi). Sebenarnya masih ada satu kelompok lagi sih, namanya Archaeoceti, yaitu kelompok yang terdiri atas paus-paus purba. Paus bersurai dinamakan demikian karena memiliki gigi yang termodifikasi menjadi seperti sisiran atau surai dan berguna untuk menyaring makanan berupa krill (sejenis udang-udang kecil yang mengapung). Surai ini terdiri atas protein keratin, protein yang tepat sama seperti protein yang menyusun rambut dan kuku kita. Rambut-rambut halus yang ada pada batang keratin tersebut berfungsi untuk menyaring makanan. Pada paus bersurai, tinggi surai dapat mencapai sekitar satu meter pada paus biru (Balaenoptera musculus) dan lebih dari tiga meter pada paus Bowhead (Balaena mysticetus). Paus bergigi memiliki gigi yang dirancang untuk menangkap mahluk laut dengan ukuran lebih besar. Bentuk giginya menyerupai kerucut yang berguna untuk menerkam mangsa namun tidak untuk mengunyahnya. Jadi singkat kata, paus bergigi menelan mangsanya bulat-bulat.

Beberapa contoh paus bersurai adalah paus biru (Balaenoptera musculus), paus bongkok (Megaptera novaengliae), paus bowhead (Balaena mysticetus), dan lainnya. Sedangkan contoh paus bergigi adalah paus orca (Orcinus orca), paus sperma (Physeter catodon), paus beluga (Delphinapterus leucas), paus narwhal (Monodon monoceros), dan lainnya. Dalam hal ukuran tubuh, sebenarnya anggota bangsa Cetacea memiliki kisaran tubuh yang cukup besar, mulai dari sepanjang dua meter hingga lebih dari 25 meter. Namun pada umumnya bangsa Cetacea dikenal karena anggotanya mencakup paus berukuran besar, bahkan paus biru (B. musculus) merupakan hewan terbesar di dunia dengan panjang 25 meter dan berat mencapai 120 ton pada individu dewasa. Hmm...sebuah kapal selam hidup.

Sebuah kehidupan berbalik kembali ke laut
Hal yang cukup menarik untuk dibicarakan mengenai paus adalah dari segi jalur evolusinya. Sebagai salah satu anggota dari Classis Mammalia yang sebagian besar anggotanya merupakan hewan darat tentu merupakan hal yang cukup aneh ketika kita melihat paus, seekor mammalia, menghabiskan seluruh hidupnya di laut terbuka. Beberapa ahli evolusi mengatakan bahwa bangsa Cetacea merupakan sebuah bangsa yang aneh dan cukup menyimpang dari jalur evolusi apabila dibandingkan dengan kerabatnya yang sesama mammalia. Bagaimana tidak aneh? Disaat kerabatnya yang lain mencari makanan dan tempat hidup di darat, Cetacea malah lebih memilih untuk berbalik ke laut.

Kalau seandainya Cetacea berpendapat, mungkin di daratan kompetisinya cukup tinggi sehingga mereka lebih memilih untuk mencari tempat hidup baru yang lebih sepi, luas, namun banyak makanan. Beberapa bahkan telah memodifikasi gigi mereka menjadi surai untuk menyesuaikan dengan salah satu jenis makanannya di lautan terbuka, yaitu krill. Yah, begitulah paus bersurai mendapatkan namanya. Studi evolusi berdasarkan genetika dan catatan fosil menunjukan bahwa nenek moyang paus memang merupakan hewan yang pernah hidup di darat, walaupun tidak sepenuhnya. Fosil mengenai nenek moyang paus tertua (Pakicetus) merupakan hewan yang hidup di perairan rawa namun kembali ke darat untuk berkembang biak. Fosil nenek moyang paus berikutnya (Ambulocetus dan Rhodocetus) juga merupakan hewan rawa mirip seperti Pakicetus. Catatan fosil mengenai bentuk tubuh ketiga nenek moyang paus tersebut menunjukan adanya empat tungkai berselaput, menjelaskan bahwa mereka adalah perenang.

Evolusi berikutnya lebih memaksimalkan kemampuan untuk hidup sepenuhnya di perairan terbuka, yaitu sistem pendengaran dalam air, ekor berbentuk sayap, adanya sirip sebagai hasil modifikasi tungkai depan, serta reduksi tungkai belakang membuat Cetacea lebih sukses pada kehidupan perairan. Basilosaurus dan Dorudon merupakan paus purba yang menjadi cikal bakal paus-paus yang terdapat pada saat ini. Kedua jenis paus ini masih ketinggalan satu hal dibandingkan paus masa kini, yaitu kemampuan pemetaan target berdasarkan pemancaran gelombang suara (echolocation). Hal ini disebabkan sistem organ pendengaran dan penghasilan gelombang suara yang belum sempurna pada kedua jenis paus purba tersebut. Namu evolusi selanjunya akan menyempurnakan hal tersebut sehingga menjadi seperti yang ada pada paus masa kini.

Sumber: Berbagai Sumber