Jumat, 23 Oktober 2015

Review: Ebola – The Natural and Human History




Buku ini saia dapatkan ketika sedang mampir ke toko buku Periplus Mal Kelapa Gading (lagi-lagi), sekedar mencari bacaan ringan sambil menanti buku pesanan yang juga lagi-lagi dari Periplus Online…hahaha. Well, buku ini cukup nyaman di genggaman tangan dengan dimensi 20,5 x 13 cm dan ketebalan iii + 122 halaman. Buku ini ringan dibawa namun tidak disertai dengan daftar isi karena mungkin si penulis menganggap buku ini terlalu tipis untuk diberikan daftar isinya. Isi di dalam buku ini terdiri atas bab Introduction yang kemudian diikuti dengan bahasan utama yang dibagi ke dalam 21 bab dan kemudian diakhiri dengan Epilogue.
Alur cerita di dalam buku ini cukup mudah untuk diikuti dan juga menegangkan sehingga cukup memancing rasa ingin tahu yang berkelanjutan. Secara garis besar, buku ini pertama mengangkat isu wabah Ebola yang kembali muncul pada 2014 silam dan merenggut ribuan nyawa di daerah Afrika Barat. Banyak usaha dari berbagai negara untuk memerangi wabah ini, paling tidak untuk mencegah agar penyebarannya tidak lebih luas. Sebagai informasi, Ebola merupakan salah satu jenis virus yang tergolong dalam famili Filoviridae. Virus ini tergolong ganas karena sangat infeksius dan juga mematikan. Estimasi persentase kematian dari populasi manusia yang terjangkit virus ini di klaim mencapai lebih dari 70%. Ya, itu artinya 7 hingga 8 di antara 10 orang yang terjangkit virus ini akan meninggal dalam waktu dua hingga tiga minggu. Lebih buruk lagi, virus ini ternyata memiliki varian yang tidak kalah infeksiusnya, yakni Marburg, Sudan, Tai’ dan kawan-kawannya. Wabah Ebola pada 2014 tersebut menyisakan para ilmuwan dua pertanyaan besar, yakni dimana virus Ebola bersembunyi dan bagaimana proses sehingga virus Ebola bisa keluar dari tempat persembunyiannya dan mulai menjangkiti manusia.
Buku ini mengupas satu per satu sejarah dikenalnya penyakit yang disebabkan oleh virus Ebola yang dimulai sejak tahun 1976 hingga berbagai penelitian yang dilakukan untuk memahami virus mematikan ini agar dapat menyediakan jawaban akan penanggulangannya. Terlepas dari usaha untuk memberantasnya, ternyata kasus wabah Ebola tidaklah sesederhana itu. Seiring dengan penelusuran cerita, banyak hal yang menyebabkan hubungan manusia dengan virus Ebola ini menjadi sangat kompleks. Hubungan antar keduanya, seperti yang diurai lebih lanjut di dalam buku menyangkut hingga pada skala perusakan habitat, kebijakan pemerintah setempat, dan kondisi sosial masyarakat di lokasi kemunculan wabah.
Saia tidak akan mengurai lebih lanjut lagi agar tidak membuat teman-teman kehilangan minat baca buku yang tipis dan menarik ini. Semoga uraian singkat ini bisa membantu memotivasi teman-teman untuk membacanya.

Victor

Selasa, 13 Oktober 2015

Review: The Alchemy of Air


Review mengenai buku ini sebenarnya agak telat karena buku tersebut sudah selesai saia baca sekitar 5 bulan yang lalu. Buku ini ditulis oleh Thomas Hager dan diterbitkan pada 2009, jadi boleh dibilang sudah cukup lama. Saia menjumpai buku ini secara kebetulan di toko buku Gramedia dan memutuskan untuk membeli setelah membaca sinopsisnya. Buku yang saia beli merupakan versi terjemahan yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 2014. Buku versi terjemahan yang saia beli memiliki dimensi 24 x 15 cm dengan tebal xviii + 354 halaman. Isi buku The Alchemy of Air ini hanya terdiri atas: Pendahuluan; bagian 1 – Kiamat Bumi; bagian 2 – Batu Ajaib; bagian 3 – Syn; epilog; sumber catatan; daftar pustaka; dan ucapan terima kasih. Bagian 1 sendiri terdiri atas 5 bab, bagian 2 terdiri atas 7 bab, dan bagian 3 terdiri atas 9 bab.
Cerita dalam buku ini mengisahkan dua orang yang boleh dibilang menjadi sebab mengapa umat manusia di bumi ini dapat tumbuh mencapai 7 milyar orang. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa kedua ilmuwan ini tidaklah sepopuler ilmuwan lainnya seperti Albert Einstein, James Watson, Francis Crick, dan lainnya yang sering menjadi ikon dunia sains. Dua ilmuwan yang dikisahkan dalam buku ini bernama Fritz Haber dan Carl Bosch. Mereka berdua merupakan penemu sekaligus pengembang teknologi pengikat nitrogen melalui proses kimia yang berhasil memupuk dunia dengan pupuk nitrogen sintetisnya. Ilmuwan lain yang kontribusinya juga tidak kalah penting dalam teknologi ini adalah Alwin Mittasch yang menjadi pionir dalam bidang ilmu kimia katalisis dan Robert Le Rossignol yang membantu Fritz Haber dalam mengembangan proses Haber. Selain itu, dicceritakan juga tentang Walter Nernst dan Wilhelm Ostwald yang menjadi rival Haber dalam penemuan fiksasi nitrogen ini.
Bagian satu mmengisahkan tentang ramalan yang dibuat pada tahun 1898 oleh Sir William Crookes yang dalam pidatonya menyatakan bahwa penduduk di bumi sedang di ambang kehancuran. Penyebabnya tidak lain adalah jumlah penduduk yang terus bertambah namun dengan jumlah pasokan pangan yang terbatas. Dengan demikian, bencana kelaparan semakin menghantui seiring dengan berjalannya waktu. Penyebabnya merupakan hal yang lumrah, yakni kecepatan produksi pangan oleh para petani yang terhitung lamban jika dibandingkan dengan masa sekarang. Berbagai cara dilakukan untuk dapat mempercepat penumbuhan tanaman pangan dan juga masa panennya, mulai dari pergiliran tanaman hingga pemupukan dengan kotoran ternak. Namun semua itu belum cukup. Disini mereka mengetahui bahwa agar tanaman bisa tumbuh dengan cepat, mereka butuh pasokan senyawa nitrogen yang banyak di dalam tanah. Perburuan besar-besaran pun dimulai untuk mencari sumber senyawa nitrogen tersebut. Selagi perang memperebutkan pasokan nitrogen untuk memupuki negara masing-masing berlangsung, ada seorang ilmuwan di Jerman yang sedang membuat mesin yang konon dapat membuat udara menjadi roti. Dialah Fritz Haber.
Bagian kedua berfokus pada cerita bagaimana Fritz Haber, dibantu oleh Robert Le Rossignol, menemukan reaksi kimia sintesis amonia dari nitrogen dan hidrogen. Kedua unsur awalan tersebut berwujud gas dan reaksinya untuk menghasilkan amonia harus dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi menggunakan katalis logam. Setelah berhasil, keduanya mengirimkan proposal kepada sebuah pabrik kimia besar bernama BASF (Badische Anilin- und Soda-Fabrik) untuk mengembangkan proses sintesisnya pada skala industri. Disini Fritz Haber bertemu dengan seorang ahli kimia lainnya yang bernama Carl Bosch. Keduanya menyempurnakan proses Haber dan mengembangkannya hingga ke skala industri. Keberhasilannya pun tidak main-main hingga pada saat itu BASF menunjuk Carl Bosch untuk memimpin proyek pembangunan pabrik sintesis amonia pertama di Oppau. Tidak semuanya pada bagian dua ini menceritakan tentang hal-hal yang bersifat teknis. Sisi kehidupan pribadi mengenai Fritz Haber dan Carl Bosh juga diceritakan dan diperlihatkan bagaimana keduanya berseberangan dalam prinsip hidup masing-masing. Setelah sukses dengan pasokam amonia sintetisnya, dunia seakan mendapat harapan baru karena masalah bencana kelaparan sebagaimana yang diramalkan oleh Sir William Crookes telah terpecahkan. Namun demikian, di Jerman sana ternyata amonia yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk membuat pupuk. Mereaksikan amonia dengan oksigen akan menghasilkan senyawa  baru bernama asam nitrat yang merupakan sumber dari bahan peledak. Pada saat itu, teknologi sintesis amonia Haber-Bosch juga digunakan oleh jerman untuk mebuat bahan peledak dalam skala besar dan kemudian memicu perang dunia pertama.
Bagian ketiga menyoroti tentang keberlanjutan politik dan perang antara Jerman dengan dunia internasional. Pada bagian ini dikisahkan juga kemunculan Adolf Hitler yang kemudian menjadi pemimpin Jerman di masa krisisnya. Menggunakan pasokan amonia dan nitrat yang diperoleh dari pabrik barunya di Leuna (sebuah pabrik sintesis amonia yang sebesar kota), Jerman di bawah pimpinan Hitler tetap gencar berperang dengan negara-negara sekutu selama perang dunia kedua. Selama waktu ini diceritakan bahwa keduanya sangat terpukul dengan kenyataan bahwa penemuan mereka selain digunakan untuk memecahkan masalah umat manusia juga digunakan untuk menciptakan krisis antar umat manusia. Di akhir cerita, Fritz Haber meninggal pada Januari 1934 dan carl Bosch pada April 1940.

Victor.

Minggu, 11 Oktober 2015

Review: Being Mortal - Medicine and What Matters in the End

Being Mortal: Medicine and What Matters in the End (2014) merupakan buku keempat yang saia ikuti dari Atul Gawande, seorang penulis sekaligus juga dokter bedah endokrin di Amerika. Buku ini muncul setelah kemunculan tiga buku sebelumnya yang berjudul Complications: A Surgeon's Notes on an Imperfect Science (2002); Better: A Surgeon's Notes on Performance (2007); dan The Checklist Manifesto: How to get Thing Right (2009).
Sebenarnya buku ini saia pesan secara online sejak Desember 2014 lalu, jadi agak telat sih karena baru diselesaikan sepuluh bulan kemudian. Buku yang saya beli memiliki format hardcover dengan harga 300.000 rupiah. Sebagai informasi, baru-baru ini (3/10/2015) saia melihat buku tersebut telah tersedia di toko buku Periplus Mal Kelapa Gading dalam format paperback. Saya lupa harganya berapa, tapi kalau di cek secara online harganya 215.000 rupiah. So, bagi yang berminat bisa segera membeli, namun bagi yang masih ragu-ragu mungkin bisa tahu sedikit melalui review ini.
Buku ini memiliki dimensi 22,5 x 14 cm dengan tebal vii + 283 halaman. Isi dari buku ini terdiri atas: Introduction; 1 - The Independent Self; 2 - Things Fall Apart; 3 – Dependence; 4 – Assistance; 5 – A Better Life; 6 – Letting Go; 7 – Hard Conversations; 8 – Courage; Epilogue. Gaya penulisannya mirip seperti pada judul-judul sebelumnya yakni dengan pemaparan kasus yang dilanjutkan dengan pengembangan inti dari kasus tersebut beserta dengan penawaran solusinya. Akhir dari setiap bab juga dilengkapi dengan bagaimana hasil  dari penerapan solusi yang ditawarkan tersebut. Bab 2 - Things Fall Apart dan 5 - Letting Go telah dipublikasikan lebih dulu di majalah The New Yorker dan kembali dimuat di dalam buku ini.
Rangkaian bab yang ada di dalam buku ini seluruhnya merujuk pada satu tema di dalam dunia kedokteran, yakni bagaimana dunia kedokteran menyikapi penuaan dan kematian. Tentu saja, setiap manusia pada akhirnya pasti akan mati. Namun bagaimana sikap para dokter dalam menyikapi fakta bahwa pasiennya akan mengalami hal tersebut dan menyertai segala prosesnya hingga akhir menjadi isu yang dibahas di dalam buku ini. Pada kenyataannya, di bagian Introduction penulis memaparkan pengalamannya selama kuliah bahwa dia tidak banyak belajar mengenai penanganan penuaan dan kematian di dalam dunia kedokteran. Referensi yang didapatkannya tidak banyak mengurai tentang bagaimana bidang tersebut menangani penuaan, pelemahan, dan kematian; hal-hal yang pastinya akan dihadapi oleh sebagian besar manusia di dunia ini.
Bab 1 mengangkat perbedaan mengenai gaya hidup antara masyarakat dunia timur dan barat pada umumnya. Salah satu contoh yang digunakan penulis pada bab ini adalah kakeknya sendiri, Sitaram Gawande yang hidup di daratan India. Penulis menerangkan bahwa masyarakat timur  memiliki budaya generasi muda menyokong generasi yang tua. Hal ini tentunya membuat para orang  tua sering  terlihat hidup bersama dengan salah satu anak mereka dan terus disokong selama menjalani masa tua hingga pada akhirnya mereka meninggal. Budaya ini tampak berlawanan dengan gaya hidup di dunia barat, dimana anak-anak yang telah besar dan sudah berpenghasilan cenderung menetap terpisah dari keluarganya. Dengan demikian, di dunia barat sering didapatkan bahwa para orang tua seringkali hidup sendiri dengan hanya sesekali dikunjungi oleh anak-anaknya serta banyak panti jompo untuk menampung mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk hidup secara mandiri. Fenomena yang berhubungan dengan penuaan seperti pikun, gemetar, dan bahkan terjatuh cenderung menghantui mereka yang hidup sendirian di rumah dan tidak jarang menjadi salah satu penyebab kematian yang cukup besar di kalangan orang tua.
Bab 2 memulai ceritanya tentang perubahan kurva kehidupan seseorang seiring dengan semakin majunya dunia kedokteran. Pada jaman dahulu, kematian datang seperti layaknya pemburu tanpa ampun yang siap memburu siapa saja yang lengah. Kematian itu dapat datang dalam berbegai bentuk seperti penyakit infeksi, patah tulang, gegar otak, kanker dan lainnya. Satu hal yang pasti, begitu dia datang, kecil kemungkinan korbannya akan selamat. Di masa sekarang dengan semua kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, kita telah dapat menunda kematian. Mulai dari pemasangan alat pacu jantung, bedah rekonstruksi, berbagai macam antibiotik, hingga kemo- atau radioterapi untuk memerangi kanker. Semua teknologi tersebut telah mengubah kurva kehidupan seseorang, khususnya pada fase penuaan dan kematian, dari penurunan tajam kualitas hidup menjadi penurunan yang agak melandai seiring dengan waktu. Namun bagaimana kita sebagai manusia menghadapi perubahan ini akan diceritakan di dalam kasus Alice Hobson yang sebelumnya telah dipaparkan pada Bab 1.
Bab 3 hingga bab 5 menceritakan bagaimana seseorang di dalam masa tuanya menghadapi kenyataan bahwa dirinya semakin tidak mampu untuk hidup secara mandiri. Tentu saja, kasus yang dibawakan pada ketiga bab tersebut menggunakan model budaya barat. Seiring dengan penuaan dan ketidakmampuan untuk hidup secara mandiri, orang-orang tua disana harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus disokong bagaimanapun caranya. Bentuk sokongan terhadap orang-orang tua yang cukup lazim disana adalah mendaftarkan mereka ke panti jompo (nursing home). Namun demikian, kesimpulan yang diangkat dari beberapa kasus yang dibahas menyatakan bahwa sebagian besar orang tua tidak menyukai hidup di panti jompo. Alasan mereka beragam, namun semuanya bermuara pada satu hal, yakni kehilangan privasi serta kendali dan otonomi atas sekitarnya. Mereka adalah orang tua, namun ketika mereka tidak mampu untuk mandiri tidak semestinya mereka diperlakukan seperti anak kecil. Beberapa perbaikan mulai dari kebijakan pemerintah hingga pendirian pusat perawatan orang tua alternatif mulai bermunculan sebagai reaksi atas ketidakpuasan mereka yang hidup di panti jompo. Beberapa bahkan cukup radikal seperti memperbolehkan orang tua untuk memelihara binatang, melatih berjalan dengan menggunakan tongkat dibandingkan kursi roda, dan menggabungkan tempat perawatannya dengan sekolah dasar dimana para orang tua dapat menjadi mentor paruh waktu. Hasil yang didapatkan dari penyimpangan tersebut cukup mengejutkan, mulai dari penurunan kebutuhan obat-obatan, rawat inap, unit gawat darurat dan perawatan medis lainnya.
Bab 6 memfokuskan cerita tidak pada orang tua, namun pada mereka yang mengalami penyakit serius atau dengan kata lain, mereka yang sudah ditentukan umurnya oleh para dokter. Bab ini mengangkat kasus salah satu pasien bernama Sara Monopoli, seorang calon ibu yang mengalami kanker paru-paru stadium lanjut yang telah bermetastasis. Dengan diagnosisnya itu, dia menjalani tiga tahapan kemoterapi yang ternyata sia-sia dalam mengobati kankernya. Menghadapi kenyataan ini dia dan suaminya dihadapkan pada dua pilihan, apakah untuk melanjutkan kemoterapi lainnya atau menjalani perawatan di rumah. Fokus utama dari bab ini menitikberatkan pada pengambilan keputusan baik bagi dokter maupun pasien, dimana dalam situasi tersebut haruskah mereka melanjutkan atau menyerah. Dokter, dengan pendidikan dan pengalamannya jelas tidak akan kehabisan cara untuk menangani pasien seperti Sara Monopoli. Dia dapat menawarkan berbagai obat kemoterapi sambil menyodorkan data-data terkair peluang keberhasilannya. Jadi jelas, pengambil keputusan utama terletak di tangan pasien. Namun apa yang perlu menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan menyangkut hidup dan mati ini? Menurut saia, bab ini merupakan bab yang paling menyentuh, sebab pada akhirnya baik Sara ataupun keluarganya sudah tidak kuat menghadapi penderitaan yang ditimbulkan dari berbagai penanganan medis yang dilakukan. Akhir kata, mereka memutuskan untuk hanya merawat Sara dan mengijinkan waktu untuk mengambilnya. Di akhir bab, Sara hanya ditemani oleh suaminya, Rich, yang sesaat sebelum kematiannya membisikkan “it’s okay to let go. You don’t have to fight anymore. I will see you soon.” Setelah itu, pada esok paginya nafas Sara semakin melambat dan pada akhirnya berhenti.
Bab 7 dan 8 membahas kaitan antara hubungan antara pasien dengan dokter. Kedua bab ini juga tidak kalah menyentuhnya karena penulis membahas tentang ayahnya sendiri, Atmaram Gawande. Bab 7 menceritakan bahwa ayahnya didiagnosis mengalami tumor pada saraf spinal dan diperlukan tindakan operasi. Mereka kemudian berkonsultasi pada dua ahli bedah saraf terkemuka. Keduanya menyarankan untuk tindakan operasi, namun dokter pertama ingin tindakan itu segera dilakukan dengan segala resikonya, sementara yang kedua ingin mempertimbangkannya lebih lanjut dengan pasien sebelum operasi dilakukan. Pada kasus ini diceritakan bahwa dunia kedokteran kebanyakan memiliki dua golongan dokter. Golongan pertama adalah “Dr.Knows-Best” yang cenderung hanya mendengarkan pendapatnya sendiri tanpa mempertimbangkan keinginan pasien. Pada sisi seberang terdapat golongan kedua, yakni “Dr.Informative” yang memberikan segala pilihan berikut resikonya dan kemudian membiarkan pasien yang memilih. Namun demikian, dokter yang diharapkan oleh pasien jatuh pada golongan ketiga, yakni “Dr.Interpretive” yang memberikan pilihan sambil memandu proses pemilihannya berdasarkan prioritas yang dibuat oleh pasien. Menjadi dokter  dari golongan ketiga ini tidaklah mudah karena terkadang beberapa pertanyaan sensitif harus diutarakan selama memandu pasien dalam menentukan pilihan. Beberapa pertanyaan seperti apa yang sangat diinginkan oleh pasien di dalam hidup, resiko apa yang sanggup diterima oleh pasien jika operasinya berjalan lancar atau tidak lancar, hingga pada perpisahan seperti apakah yang diinginkan jika ruang operasi menjadi tempat terakhir di masa hidupnya.
Hal tersebut dilalui oleh penulis dan juga ayahnya dengan lancar, namun diceritakan bahwa komplikasi muncul beberapa bulan kemudian akibat perkembangan tumornya. Di akhir bab 8, diceritakan bahwa ayahnya memilih untuk dirawat di rumah dengan bantuan hospice (saia kesulitan menerjemahkan istilah ini) seiring dengan kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Pertimbangannya, ayahnya lebih memilih untuk menikmati sisa hidupnya di tempat yang dia anggap sebagai rumah (home) dikelilingi oleh orang-orang yang dia cintai. Pada akhirnya ayahnya meninggal di tempat tidur dikelilingi oleh istri dan anak-anaknya.
Bagian epilog menjadi penutup sekaligus merangkum seluruh inti cerita dari buku ini. Dalam kesimpulannya, dunia kedokteran masih cukup awam ketika berhadapan dengan penuaan dan kematian. Bidang-bidang terkait seperti studi gerontologi, manajemen perawatan paliatif, serta fasilitas perawatan hospice dipandang masih cukup minim jika  dibandingkan dengan bidang studi kedokteran lainnya. Ke depannya, hal-hal  seperti ini tentu menjadi lebih dibutuhkan seiring dengan keinginan setiap manusia untuk selalu menjadi berarti bagi dirinya dan juga sekelilingnya pada saat mereka hidup hingga menjelang kematiannya. Akhir dari cerita menuliskan bahwa ayahnya dikremasi dan abunya ditaburkan ke sungai Gangga di India.

Victor.