Sabtu, 14 Juli 2012

Sebuah Tulisan Evolusi dan Filogeni: Codon Substitution Models

Hmm...oke setelah sekian lama absen menulis artikel Sebuah Tulisan Evolusi dan Filogeni, saia kemudian dituntut oleh salah satu pembaca untuk kembali melanjutkan tulisan itu. Nah permasalahannya cukup kompleks karena dalam hal ini saia belum ada ide mengenai apa yang ingin saia tulis. Namun ketika sore kemarin saia bertapa di kamar mandi, datanglah ide yang saia tunggu-tunggu itu. Dalam tulisan kali ini saia lebih cenderung mengutarakan kegundahan serta kegalauan hati saia selama ini. Lho, lantas apa hubungannya dengan tema tulisan diatas? Yaaa....selamat membaca kalau begitu. Duh mules neh, bentar yak...

Kegundahan dan kegalauan saia berawal ketika saia membaca bab yang membahas mengenai pengukuran tekanan seleksi pada sequence molekular. Nah dari sana saia pun diperkenalkan dengan suatu model evolusi yang berbeda dengan dua kelompok model evolusi yang telah saia kenal sebelumnya, yakni model evolusi nukleotida dan model evolusi asam amino. Model evolusi yang baru dan dikatakan juga lebih realistik tersebut adalah model evolusi kodon.

Model evolusi nukleotida menggunakan algoritme substitusi basa A, G, C, T berdasarkan data laju substitusi relatif dan juga frekuensi dari masing-masing basa. Berbagai model mulai dari yang sederhana seperti Jukes & Cantor (JC69) hingga General Time Reversible (GTR) pun tersedia untuk dapat kita pilih dalam analisis data yang dimiliki. Sementara itu, model subsitusi asam amino sedikit berbeda dengan model subsitusi nukleotida karena merupakan sebuah matriks skor untuk masing-masing jenis asam amino standar satu sama lain. Skor yang negatif dalam matriks tersebut artinya kecil kemungkinan terjadi substitusi antara dua asam amino yang terlibat. Contohnya adalah triptofan menjadi aspartat atau sebaliknya dengan skot -4. Untuk lebih rincinya lagi, silahkan cek ke warung kopi...ehh...literartur terkait.

Nah pada model evolusi kodon kali ini saia dapat menyimpulkan model ini menggunakan gabungan model nukleotida dan asam amino. Tidak seperti dua kelompok model sebelumnya, saia belum mendapatkan keterkaitan antara model evolusi kodon ini dengan rekonstruksi pohon filogenetik. Yah daripada pulang dengan otak hampa, lebih baik saia mencoba menceritakan apa yang saia ketahui (belum mengerti atau pahami lohh) hingga saat ini. Pada umumnya model evolusi kodon dipakai dalam penentuan tekanan seleksi terhadap sebuah sequence DNA. Sebelum menceritakan bagaimana logika kerjanya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan model ini. Prasyarat itu meliputi (1) Model ini membutuhkan data sequence nukleotida sebagai data utamanya dan sequence asam amino (hasil translasinya) sebagai pengkonfirmasi dan (2) Sequence yang digunakan harus dipastikan terbebas dari mutasi frameshift.

Sekarang mari kita bergerak mengenai cara kerjanya. Nah sekarang mari kita bayangkan sebuah kodon (triplet nukleotida) AAA. Kodon AAA tersebut jika ditranslasikan akan menghasilkan asam amino lysine. Nah kemudian coba bayakngkan lagi apabila terjadi mutasi titik pada salah satu dari tiga nukleotida. Mutasi titik pada satu posisi dalam triplet tersebut akan menghasilkan 9 kemungkinan yang akan menghasilkan asam amino berbeda apabila ditranslasikan. Jadi, jika AAA mengalami mutasi titik maka kemungkinannya akan menjadi GAA, CAA, TAA, AGA, ACA, ATA, AAG, AAC, AAT. Nah dari 9 kemungkinan hasil mutasi titik tersebut hanya ada satu mutasi (AAA --> AAG) yang translasinya tetap berupa asam amino lysine. Sisa delapan kemungkinannya merupakan mutasi non-synonimous yang menghasilkan asam amino selain lysine. Setelah memperhitungkan kemungkinan mutasi synonimous dan non-synonimous dari setiap triplet nukleotida, model ini kemudian menghitung nilai rasio dN/dS.

Rasio dN (rerata mutasi non-synonimous) terhadap dS (rerata mutasi synonimous) merupakan salah satu parameter dalam estimasi tekanan seleksi pada sequence molekular. Nilai dN/dS >1 menyatakan bahwa seleksi alam memperbolehkan adanya diversivikasi atau disebut juga sebagai seleksi positif; sedangkan nilai dN/dS<1 manyatakan adanya gejala purifying/negative selection, dimana seleksi alam hanya memperbolehkan sequence tertentu untuk dapat diteruskan pada keturunan berikutnya. NIlai dN/dS=1 menyatakan bahwa evolusi bersifat netral. Beberapa algoritme model substitusi kodon yang dikenal umumnya meliputi Muse-Gaut (MG94), Goldman-Yang (GY94), Nielsen-Yang (NY98), Yang-Nielsen (YN98), dan codon-GTR (CGTR). Software yang menyediakan model evolusi kodon untuk analisis sequence diantaranya meliputi Pylogenetic Analysis using Maximum Likelihood (PAML) dan Important Quartet Puzzling and NNI Optimization (IQPNNI).

Kesimpulan dari cerita diatas adalah bahwa model evolusi menggunakan kodon dibandingkan dengan nukleotida atau asam amino bersifat lebih realistis dalam menentukan bagaimana proses evolusi yang berlangsung terhadap suatu gen struktural. Walaupun evolusi paling dasar terjadi pada DNA, namun target dari seleksi alam adalah protein. Seleksi terhadap protein yang sejatinya merupakan produk DNA mensyaratkan harus adanya suatu adaptasi molekular pada sequence DNA agar dapat menghasilkan varian protein lain yang mampu beradaptasi. Pembacaan sequence DNA dalam bentuk kodon menjawab hubungan DNA-protein ini, sehingga kita bisa mendapatkan gambaran mengenai bagaimana seleksi alam terhadap suatu gen tertentu.

Nah kalau seandainya demikian, sekarang adalah bagian yang membuat galau. Apabila kita ingin merekonstruksi sebuah filogeni menggunakan gen struktural yang mengkode protein elongation factor 1a (EF-1a), lantas model evolusi manakah yang digunakan? Ketika jaman dahulu, saia diceritakan bahwa penggunaan model evolusi protein untuk suatu gen penyandi protein (gen struktural) lebih baik dibandingkan menggunakan model evolusi DNA. Hal ini disebabkan karena model evolusi protein memuat lebih banyak kombinasi substitusi asam amino (20 jenis asam amino dibandingkan dengan 4 jenis nukleotida),  dan juga mempertimbangkan bahwa target evolusi dalam konteks molekular adalah protein dan bukan DNA. Nah kemudian, bagaimana keunggulan model evolusi kodon dibandingkan engan protein? Sekilas saia mendapatkan gambaran seperti yang saia tulis pada paragraf sebelumnya bahwa model evolusi kodon lebih baik dibandingkan DNA dalam hal gen struktural karena memuat 64 kombinasi triplet nukleotida. Namun saia belum mendapat bayangan apabila dibandingkan dengan protein.

So.....ada yang bisa membantu saia menjawab kegalauan ini? :)

Regards,
Victor Apriel