Kamis, 10 Desember 2015

Review: The Walking Whales – From Land to Water in Eight Million Years



Judul                                     : The Walking Whales – From Land to Water in Eight Million Years
Pengarang                          : Hans Thewissen
Publisher                             : University of California Press
Tahun Terbit                      : 2014
Dimensi (P x L x T cm)     : 23,5 x 15,2 x 1,7 cm; x + 245 halaman

Dalam beberapa bulan sejak saia mulai sedikit rajin membaca buku, sepertinya ini merupakan genre buku baru yang pernah saia baca. Yaa, seperti yang tertulis pada judulnya, buku ini menceritakan tentang perjalanan evolusi paus, kelompok mamalia yang saat ini seluruh anggotanya merupakan penghuni perairan. Cerita yang tersaji di dalam buku ini cukup menarik, mengetahui bahwa dulunya leluhur dari bangsa paus (Cetacea) ini merupakan hewan darat yang berkerabat dekat dengan kelompok hewan berkuku genap (Artiodactyla). Saia raasa, bagi teman-teman yang menggeluti anatomi hewan, khususnya vertebrata, akan sangat terinspirasi dengan tulisan di dalam buku ini.

Cerita dalam buku ini terbagi dalam 15 bab yang dituturkan dengan rangkaian kronologisnya (awal penelitian paleontologi paus hingga sekarang). Uraian daftar isi yang terdapat dalam buku ini: (1) A wasted dig; (2) Fish, mammal, or dinosaur?; (3) A whale with legs; (4) Learning to swim; (5) When the mountains grew; (6) Passage to India; (7) A trip to beach; (8) The otter whale; (9) The ocean is desert; (10) The skeleton puzzle; (11) The river whales; (12) Whales conquer the world; (13) From embryos to evolution; (14) Before whales; (15) The way forward. Isi buku cukup mudah dan menarik untuk dipahami. Selain menjabarkan proses evolusi paus, penulis juga memulai setiap bab dengan catatan perjalanan ekskavasi fosilnya di daratan Pakistan dan India yang menarik dan cukup menegangkan.

Proses evolusi paus dijabarkan secara lengkap serta menyeluruh. Walaupun fokus utama buku ini adalah penyelidikan berdasarkan perbandingan anatomi fosil, namun penulis juga menjabarkan berbagai analisis filogenetika molekular yang mengonfirmasi evolusi serta hubungan kekerabatan antar fosil paus. Semua data saling melengkapi sebagai satu kesatuan yang indah menggambarkan kompleksitas evolusi selama delapan juta tahun lamanya. Seluruh fosil paus yang dideskripsikan dalam buku ini dikenali sebagai paus melalui tiga ciri utama, yakni tulang timpani yang menebal membentuk involucrum, pola gigi, serta salah satu tulang pada pergelangan kaki yang disebut astragalus (khusus untuk paus awal evolusi yang masih memiliki tungkai).
Evolusi paus merupakan satu proses yang melibatkan banyak adaptasi baik secara genetis, anatomis, serta prilaku. Hal ini jelas dibutuhkan karena evolusinya mencakup hingga pergantian habitat dari daratan ke lautan. Beberapa ciri adaptasi penting yang dapat saia uraikan secara singkat adalah penebalan tulang (pachyosteosclerosis), migrasi lubang mata, cara bergerak / lokomosi, cara makan, cara minum (ingat perbedaan salinitas antara air tawar dengan air laut), hingga teknik mendengar dan ekolokasi. Dari seluruh adaptasi tersebut, saya paling takjub dengan adaptasi cara berenang dan mendengar di dalam air. Disini saia pun berpikir bahwa “gerakan lumba-lumba”  yang dilakukan oleh manusia ketika berenang sepertinya lebih tepat disebut gerakan Basilosaurid (dorsoventral caudal undulation) ketimbang gerakan lumba-lumba (caudal oscillation)…hahaha.
Untuk menggambarkan adaptasi cara berenang, coba bayangkan bagaimana caranya seekor hewan dengan empat tungkai dan ekor berenang menyusuri perairan (sungai). Seiring dengan waktu evolusi pada bukti fosil, terdapat perubahan anatomis keempat tungkai dan ekor. Secara umum, tungkai belakang menjadi semakin pendek hingga pada akhirnya mereduksi pada paus saat ini. Ekor pun mengalami modifikasi membentuk sirip (fluke). Adaptasi yang tidak kalah hebat juga terjadi pada struktur pendengaran. Struktur indera pendegaran paus semasa masih di darat dengan yang sepenuhnya hidup di laut ternyata banyak mengalami perubahan. Perubahan ini telah memungkinkan paus untuk mendeteksi arah bunyi di dalam air, sesuatu yang tidak dapat dilakukan menggunakan struktur pendengaran hewan darat. Untuk melakukan ini, diperlukan modifikasi yang berupa perbesaran foramen mandibularis, reorientasi tulang osikula telinga, hingga pemisahan tulang petrosus dari tengkorak.
Selain dari bukti fosil, penulis juga menyuguhkan tentang rekonstruksi hubungan kekerabatan antar paus menggunakan teknik filogenetika molekular. Bukti inilah yang merubah konstelasi sistematika paus (Cetacea) yang sebelumnya terpisah menjadi tergabung dengan Artiodactyla. Berdasarkan analisis terhadap data urutan DNA daerah short interspersed nuclear element (SINE) kelompok paus memiliki hubungan kekerabatan dengan kuda nil. Usulan pun bermunculan, apakah akan menggabungkan kedua ordo tersebut menjadi satu, Cetartiodactyla; atau masih menetapkan pemisahan keduanya dengan sebuah catatan bahwa kelompok artiodactyla sekarang menjadi kelompok yang bersifat parafiletik. Kenyataan bahwa leluhur paus merupakan hewan darat bertungkai serta penemuan lumba-lumba “berkaki” di Jepang yang bernama Haruka membuat penulis juga membahas tentang embriologi paus dari segi anatomis dan juga molekular di bab selanjutnya. Pada bagian akhir penulis juga menyadari bahwa buku yang ditulisnya tidak hanya berhenti pada titik tersebut dan justru membuka berbagai pertanyaan dan juga penelitian lanjutan.

Victor.

Rabu, 09 Desember 2015

Review: Junk DNA – A Journey Through the Dark Matter of the Genome





Judul                                   : Junk DNA – A Journey Through the Dark Matter of the Genome
Pengarang                         : Nessa Carey
Publisher                           : Columbia University Press
Tahun Terbit                      : 2015
Dimensi (P x L x T cm)     : 23,5 x 15,5 x 2,3; xiv + 340 halaman

Akhirnya selesai juga baca buku ini dan kali ini saia bersiap untuk mengulasnya sedikit. Dalam pendapat saia, buku ini memiliki muatan materi yang termasuk berat dan kenyataannya memerlukan waktu lebih dari satu bulan bagi saia untuk membacanya hingga tamat. Buku ini terdiri atas 20 bab dimana penulisannya memuat salah satu elemen genetik penting per bab. Teman-teman yang tidak memiliki latar belakang biologi, khususnya biologi molekular, mungkin akan sedikit kesulitan membayangkan isi dari setiap bab jika hanya membaca judulnya saja. Berikut daftar bab di dalam bukunya. Oleh karena itu, selain menuliskan judulnya saia memberikan padanan istilah biologi (dalam cetak miring) yang dapat dipakai oleh teman-teman untuk mencarinya lebih lanjut di Google.

1. Why Dark Matter Matters – Junk DNA, Genetic Diseases
2. When Dark Matter Turns Very Dark Indeed – Central Dogma, Genetic Diseases
3. Where Did All the Genes Go? – Protein-coding Genes
4. Outstaying an Invitation – Repetitive Elements
5. Everything Shrinks When We Get Old - Telomere
6. Two is the Perfect Number - Centromere
7. Painting with Junk – X-chromosome, Barr Body
8. Playing the Long Game – Long non-coding RNA, Xist-Tsix
9. Adding Colour to the Dark Matter – Epigenetics, DNA methyltransferase
10. Why Parents Love Junk – Imprinting Control Elements (ICE)
11. Junk with a Mission – Ribosomal RNA (rRNA)
12. Switching It On, Turning It Up – Promoters, Enhancers
13. No Man’s Land – Halting Epigenetic Repression, mRNA vs tRNA polymerases, X-inactivation, Pseudoautosomal Regions
14. Project ENCODE – Big Science Comes to Junk DNA – Database of Junk DNA with Potential Functions
15. Headless Queens, Strange Cats and Portly Mice - Morphogens
16. Lost in Untranslation – Untranslated Regions (UTRs)
17. Why LEGO is Better Than Airfix – Splicing Mechanism
18. Mini Can Be Mighty – Small RNAs
19. The Drugs Do Work (Sometimes) – RNA-based Drugs; Personalized Medicine
20. Some Light in the Darkness – Complex Roles of Junk DNA

Yup, melihat dari judulnya kita dapat menyimpulkan bahwa buku ini bermaksud untuk menjelaskan kepada masyarakat luas mengenai pentingnya peranan elemen DNA selain daripada elemen pengkode protein (gen). Peranan penting tersebut adalah regulasi genetik terhadap gen-gen baik dalam segi kapan gen tersebut perlu diaktifkan/dimatikan/dihambat, seberapa besar aktivasi gen tertentu perlu dilakukan, dan dimana lokasi dari gen tertentu diaktifkan. Pembahasan mengenai peranan penting junk DNA ini menggunakan cara klasik, yaitu kasus-kasus medis yang muncul akibat suatu kelainan genetis yang ketika ditelusuri menuju pada mutasi suatu elemen DNA yang tidak mengkode protein.
 Penjelasan berbagai konsep serta istilah biologi molekular jelas sangat banyak dan dalam, dan kemungkinan besar akan sulit untuk dimengerti oleh orang awam. Oleh karena itu, penulis juga menyertakan berbagai analogi menggunakan kasus kehidupan sehari-hari untuk disepadankan dengan konsep biologi molekuler. Bagi saya pribadi, analogi yang digunakan cukup jelas dan rinci dalam menggambarkan konsep dan istilah biologi molekular namun terkesan cukup monoton dan “garing”. Hal ini dapat dimaklumi karena saia memiliki latar belakang biologi dan lebih terbiasa menghadapi istilah teknisnya langsung ketimbang analogi menggunakan kasus sehari-hari.
Kesimpulan yang saia dapatkan setelah membaca buku ini adalah bahwa kehidupan ini memang dibentuk oleh sekumpulan protein yang dikode oleh gen. Namun demikian, pengendalian yang menyeluruh sekaligus terperinci terhadap gen itulah yang memungkinkan kehidupan itu berjalan sesuai dengan fungsinya. Seiring dengan kita memasuki era genomika dimana gen pengkode protein sudah dapat dipetakan secara mudah, tugas selanjutnya untuk memahami kehidupan ini adalah bagaimana pengaturan kehidupan itu dilakukan.

Victor.