Err...this is Part II haa...*dengan aksen SingLish*
Yup seperti yang saia janjikan sebelumnya, ini merupakan kelanjutan dari Nomura Part I. Artinya, notes ini masih akan becerita panjang, lebar serta dalam mengenai ubur-ubur Nomura. Pada Part II ini saia akan memfokuskan pada hubungan antara Nomura dengan manusia. Emm, saia rasa tentunya hubungan ini bukanlah sebuah hubungan yang baik-baik saja. Jadi bagaimanakah kelanjutannya? Mari kita simak tulisan dibawah ini. Selamat membaca ^^/
Ketika Pencarian Masalah Berujung Pada Masalah
Saia rasa biologi ubur-ubur dan khususnya Nomura sedikit banyak dapat memberikan bayangan mengenai apa yang akan terjadi apabila terjadi suatu gangguan dalam ekosistemnya. Ya dan itulah yang sedang kita hadapi sekarang ini. Pencemaran ekosistem laut secara besar-besaran, penangkapan ikan secara berlebihan, perusakan terumbu karang turut berkontribusi dalam pencarian masalah dengan Nomura. Apakah ini sebuah balasan kepada kita yang telah merusak lingkungan ataukan ini menjadi awal kebangkitan kembali invertebrata lautan, saia serahkan semua pemikiran itu kepada teman-teman pembaca.
Masalah yang dihadapi pada umumnya adalah seragan ubur-ubur (jellyfish swarm) pada perairan yang biasanya menjadi tempat penangkapan ikan. Serangan ini berupa invasi jutaan ubur-ubur Nomura dewasa yang masing-masing memiliki berat sekitar 100 kilogram. Cukup besar atau cukup banyak? Bayangkanlah. Jepang sebagai salah satu negara yang bermasalah dengan Nomura mencatatkan sejarah bahwa invasi ini sebenarnya adalah normal, karena negara Jepang berada pada pertemuan dua arus laut yang sepertinya membawa ubur-ubur. Namun demikian, kenormalan tersebut memiliki rentang waktu invasi empat puluh tahunan sekali. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, invasi ini meningkat drastis menjadi sekali setiap tahunnya. Invasi ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Hampir seluruh industri perikanan tutup pabrik akibat panen ikan yang digantikan oleh panen jutaan ubur-ubur. Mengapa hal ini terjadi? Ubur-ubur sebesar Nomura yang makan dengan cara menyaring air di sekitar menggunakan tentakelnya akan menghabiskan organisme planktonik kecil yang berada di laluannya. Larva ikan juga menjadi salah satu korbannya, sehingga ikan-ikan tersebut sudah habis dimakan sebelum tumbuh besar. Hal ini juga bertambah buruk karena masyarakat Jepang sekalipun yang merupakan pengonsimsi makanan laut terbesar di dunia, enggan memakan ubur-ubur. "Ubur-ubur itu mengandung racun di tentakelnya. Memakannya berarti anda mencari penyakit..." jelas salah satu nelayan yang frustrasi karena pukatnya yang penuh dengan ubur-ubur Nomura.
Ketika ditinjau lebih lanjut, para ahli biologi kelautan mendapatkan bahwa salah satu pelabuhan di perairan China menjadi tempat penetasan telur ubur-ubur Nomura. Mengapa hal ini terjadi? Penlitian lebih lanjut menyatakan bahwa kualitas perairan di pelabuhan tersebut ternyata memang sesuai sebagai tempat penetasan serta pendewasaan ubur-ubur. Kadar oksigen terlarut yang sedikit, suhu air yang relatif lebih hangat akibat kapal yang berlalu-lalang, serta melimpahnya zooplankton disana akibat eutrofikasi (peningkatan kadar bahan organik) perairan. Perairan yang seperti ini sering juga disebut sebagai zona mati (Dead Zone) karena tingkat oksigen perairan yang rendah sehingga tidak dapat mendukung kehidupan ikan, terumbu karang, dan lainnya. Ya, hanya bakteri, fitoplankton, zooplankton, dan Nomura yang hidup disana. Studi lebih lanjut juga menyatakan bahwa Dead Zone ini menjadi semakin banyak terdapat di perairan berbagai negara dan perairan Jepang tidak luput dari itu.
Mengirimkan Tangan Untuk Menangani Nomura
Berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk dapat mengatasi invasi ubur-ubur Nomura ini, mulai dari penghancuran secara langsung hingga melakukan rekonstruksi ekosistem laut agar dapat mengembalikan keseimbangan jejaring makanan laut. Terdapat hal-hal menarik dibalik setiap penanganan tersebut dan kita akan membahasnya satu per satu.
Penghancuran ubur-ubur secara massal merupakan metode yang cepat dan efektif. Pasang pukat baja pada perahu berkecepatan tinggi dan segera potong ubur-ubur itu. Lakukan saja secara rutin dan hasilnya segera terlihat, laut Jepang segera bersih dari Nomura. Namun demikian, ternyata hal ini hanya menjadi jalan keluar sementara karena sebagian ubur-ubur Nomura yang terpotong ternyata mengandung telur yang sudah dibuahi. Penghancuran hanya akan membantu menyebarkan telur-telur tersebut ke perairan Jepang. Seiring dengan semakin meluasnya Dead Zone di pesisir utara dan selatan Jepang telur-telur yang tersebar memiliki kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang disana. Pendek kata, metode ini membantu membuat perairan Jepang menjadi tempat penetasan dan pendewasaan Nomura setelah perairan China.
Pemikiran lain mengenai penanganan ubur-ubur Nomura adalah meniru cara masyarakat China, yaitu dengan mengonsumsinya. Masyarakat China telah menjadikan ubur-ubur sebagai salah satu menu di meja makan mereka dan mereka percaya bahwa ubur-ubur baik untuk kesehatan. Salah satu peneliti Jepang mencoba untuk mengadopsi ide tersebut dengan mencoba mengkreasikan menu masakan ubur-ubur yang cocok untuk lidah masyarakat Jepang. "Jika kau tidak dapat melawan mereka, makanlah mereka" menjadi slogan stand hidangan masakan ubur-ubur Nomura pada festival makanan laut Jepang. Beberapa orang yang berkunjung mencobanya dan menyatakan bahwa ternyata memang enak untuk dimakan. Namun demikian, pemikiran untuk tidak menyukai ubur-ubur ternyata lebih mendominasi sehingga stand ubur-ubur di festival tersebut sepi pengunjung.
Ahli biologi kelautan Jepang mengatakan bahwa mempelajari siklus hidup ubur-ubur Nomura mungkin akan menyediakan jalan keluar bagi krisis ini. Bersama dengan ahli ekologi kelautan, mereka menyatakan bahwa ledakan populasi Nomura selain diakibatkan oleh eutrofikasi perairan, ternyata juga diakibatkan oleh ketiadaan pemangsanya. Nomura ternyata memiliki pemangsa yang menurut saia sangat tidak terduga, yaitu ikan karang file fish (familia Monacanthidae). Ikan ini berukuran cukup kecil, mungkin tidak lebih besar dari telapak tangan manusia namun memiliki gigi tajam yang didesain untuk memakan tentakel ubur-ubur. Selain itu lapisan lendir di seluruh tubuhnya membuat ikan ini kebal terhadap sengatan ubur-ubur. Yup, solusi telah ditemukan, namun pertanyaan berikutnya adalah kemana ikan-ikan ini sekarang? Perusakan terhadap terumbu karang turut merusak habitat tempat ikan ini hidup, sehingga ikan ini menjadi jarang dijumpai lagi di perairan Jepang. Informasi ini membuat pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan untuk merekonstruksi kembali terumbu karang secara artifisial (buatan manusia). Uji coba pembuatan terumbu karang artifisial pertama membuat kembalinya file fish dan berhabitat disana meskipun masih dalam kelompok kecil. Pemangsa kecil ini memang melakukan tugasnya dengan hasil yang cukup menjanjikan, mereka memakan ubur-ubur Nomura segera setelah diberikan. Dengan demikian satu-satunya tugas yang tersisa adalah meningkatkan populasi file fish ini untuk dapat memerangi jutaan ubur-ubur yang melewati perairan Jepang setiap tahunnya.
Kesimpulan
Ubur-ubur Nomura sebagai salah satu invertebrata yang boleh dikatakan primitif ternyata mengakibatkan masalah yang cukup serius bahkan di jaman yang boleh dikatakan tidak primitif ini. Ledakan populasi sera invasi Nomura ternyata juga tidak luput dari ulah manusia yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, mengingatkan kita mengenai suatu kesalahan masa lalu yang sudah berjalan cukup jauh. Apakah kita ingin dunia ini kembali lagi ke jaman primitif ketika para invertebrata berkuasa? Yah, saia yakin kita semua tahu dan sepakat akan satu jawaban tersebut. Sekarang saatnya mewujudkan jwaban kita menjadi suatu tindakan nyata. LINDUNGI LAUT KITA!!!
Regards,