Seperti yang sudah saia janjikan,
pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang materi baru yang disebut
dengan Genomika (atau istilah dalam bahasa inggrisnya disebut Genomics).
Genomika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang genom dalam skala besar,
yang meliputi pengurutan genom, anotasi, serta perbandingan genom antar
organisme satu dengan lainnya. Bidang studi ini juga mencakup tentang studi
ekspresi genetik skala genom yang sering disebut dengan transkriptom. Seiring
dengan perkembangannya studi transkriptomika ini akan memisah dari genomika
menjadi bidang ilmu tersendiri.
Well, cukup dengan pelajaran
sejarahnya dan sekarang saia ingin membahas tentang bagian paling pertama yang
perlu teman-teman ketahui sebalum beranjak lebih jauh di dalam dunia genomika.
Hal tersebut adalah pengurutan DNA. Yaa saia tahu, beberapa teman-teman pembaca
pasti sudah bosan mendengarnya di dalam pelajaran biologi molekular. Namun
demikian, tanpa kita sadari bahwa perkembangan teknologi pengurutan DNA
sekarang ini sangat pesat dan semua itu dilakukan untuk mengejar target
pengurutan biaya murah. Pada saat genom manusia selesai diurutakan pada tahun
2003, estimasi total biaya untuk pengurutan sepanjang tiga milyar nukleotida
pada saat itu mencapai tiga milyar USD. Secara kasar itu berarti 1 USD per
nukleotida. Lalu bagaimana jika seseorang ingin mengurutkan DNA organisme sel
tunggal seperti Amoeba dubia yang
genomnya sepanjang 670 milyar nukleotida? Nah silahkan hitung sendiri yak.
Teknologi pengurutan pada cerita di atas merupakan teknologi pengurutan Sanger
(Sanger sequencing) yang berbasis
pada metode dideoksi nukleosida trifosfat (ddNTP). Nah teknologi ini menjadi
generasi pertama yang mengawali era genomika. Seiring dengan waktu, berbagai
sistem pengurutan yang lebih cepat mulai bermunculan. Hingga tulisan ini
dibuat, saya dapat mengklasifikasikan berbagai teknologi tersebut ke dalam dua
kategori, yakni teknologi pengurutan generasi kedua dan generasi ketiga. Apakah
itu dan apa perbedaan antara keduanya?
Teknologi Pengurutan
Generasi Kedua
Teknologi pengurutan generasi kedua diciptakan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh pengurutan generasi pertama, yakni kecepatan pengurutan. Beberapa sistem pengurutan generasi kedua yang banyak dikenal di antaranya: Roche 454, Life SOLiD/Ion Torrent, Illumina Genome Analyzer (GA) serta MiSeq/NexSeq/HiSeq. Ciri umum yang dimiliki oleh ketiga sistem tesebut adalah pengurutan berbasis amplikon (produk PCR) yang bersifat paralel dan penghasilan bacaan urutan (reads) yang umumnya kurang dari 1000 nukleotida (dibawah 1 kb). Metode pengurutan ketiga sistem ini dalam dibagi ke dalam dua tahap, yakni (i) konstruksi template library genom dan (ii) pengurutan template library genom. Strategi yang digunakan oleh masing-masing pabrikan pun berbeda satu sama lain. Dalam hal konstruksi template library genom, Roche 454 dan Life SOLiD/Ion Torrent menggunakan metode PCR emulsi (emPCR), sedangkan Illumina GA/HiSeq menggunakan metode amplifikasi fase padat (solid-phase amplification).
Gambar 1. Sistem pengurutan generasi kedua yang terdiri atas Roche 454 GS FLX (kiri atas); Life SOLiD (kanan atas); Life IonTorrent (kiri bawah); dan Illumina HiSeq (kanan bawah). |
Metode pengurutan ketiga sistem
tersebut pada umumnya disebut sebagai sequencing
by synthesis (SBS). Namun pada kenyataannya, strategi pengurutan ketiganya berbeda
satu sama lain, sehingga penggunaan istilah SBS jadi agak mebingungkan. Roche
454 sebagai pelopor pertama teknologi pengurutan generasi kedua menggunakan
metode pengurutan yang bernama pyrosequencing.
Metode ini menggunakan bantuan enzim APS sulfurilase dan luciferase untuk
memancarkan cahaya setiap kali sebuah nukleotida yang cocok dengan template berhasil dipasangkan. Nukleotida
bebas akan dialirkan sejenis demi sejenis dan cahaya yang muncul untuk setiap
jenis nukleotida yang dialirkan akan dideteksi. Hal ini membuat urutan basa pada
template dapat ditentukan dengan membaca sinyal cahaya pada aliran jenis
nukleotida tertentu.
Illumina GA/HiSeq menggunakan metode
pengurutan cyclic reversible termination
(CRT). Metode ini menggunakan analog nukleotida yang telah diberi penanda
fluoresens, biasanya berupa 3’-blocked terminator. Analog nukleotida ini
memiliki dua peran, yakni: (i) memberikan sinyal ke detektor tentang nukleotida
apa yang dipasangkan ke dalam template dan (ii) memblokir sementara proses
pemanjangan urutan template agar sinyal dari nukleotida yang terpasang dapat
dibaca oleh detektor. Dengan demikian, reaksi pengurutan dapat dilakukan
sedemikian rupa sehingga urutan nukleotida dari template dapat dibaca dari pola
urutan sinyal warna yang dihasilkan dari penggabungan analog nukleotida
berfluoresens.
Life SOLiD menggunakan pendekatan
yang berbeda dari Roche atau Illumina dengan menggunakan metode sequencing by ligation (SBL). Metode ini
mengandalkan enzim DNA ligase dan bukan DNA polimerase dalam proses
pengurutannya. Tahapan pengurutan dilakukan dengan menggabungkan kombinasi
penanda yang telah diketahu jenis nukleotida pada posisi pertama dan kedua
(dinamakan sebagai 1,2-probes). Penanda yang cocok dengan urutan template DNA
akan diligasikan oleh enzim ligase dan bersamaan dengan itu juga melepaskan molekul
fluoresens yang memberikan sinyal warna. Pengembangan berikutnya menghasilkan
sistem pengurutan, yang juga oleh Life Technologies, bernama IonTorrent. Serupa
dengan metode pyrosequencing, sistem
ini memanfaatkan deteksi sinyal urutan per satuan jenis nukleotida. Namun
demikian, deteksi sinyal dilakukan berdasarkan perubahan pH yang terjadi selama
pengurutan. Ketika ujung 5’ dari sebuah nukleotida bebas dipasangkan ke ujung 3’,
ion hidrogen (H+) dilepaskan dari gugus hidroksil ujung 3’ tersebut
dan ion ini akan menurunkan pH lingkungan di sekitarnya. Sudah tentu, deteksi
pH ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi ion hidrogen dari satu rantai
template, sehingga menyebabkan proses pengurutan ini harus dilakukan pada
amplikon.
Secara umum, ketiga teknologi
pengurutan tersebut mampu memangkas waktu serta biaya yang diperlukan untuk
mengurutkan sebuah genom. Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dari
seluruh sistem pengurutan tersebut. Penghasilan bacaan urutan yang pendek
menghadirkan masalah baru dalam perangkaian kembali untuk menghasilkan sebuah
genom utuh. Bayangkan sebuah genom bakteri dengan ukuran 4 juta basa yang
diurutkan dengan cakupan 10 kali ukuran genom namun dihadirkan dalam potongan
bacaan urutan sepanjang 100 nukleotida. Proses ini akan memberikan sebanyak (4.000.000
x 10)/100 = 400.000 potong bacaan urutan untuk dirangkai satu sama lain
sehingga menghasilkan kembali sebuah genom utuh berukuran 4-juta basa. Fakta
ini menjadikan perangkaian jigsaw puzzle menjadi hobi yang sangat mudah,
mengingat kita pasti menggunakan gambar utuh pada kotak puzzle tersebut untuk
memandu perangkaiannya. Kelemahan berikutnya adalah ketergantungan seluruh
sistem pengurutan pada produk PCR. Seperti yang telah diketahui, enzim DNA
polimerase cukup sering membuat kesalahan pemasangan basa selama proses
pengurutan, kira-kira pada skala 1 dalam 1.000.000 basa. Kesalahan ini selain menambahkan
kesulitan dalam proses perangkaian genom juga berpotensi untuk kemudian
dianggap sebagai polimorfisme nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism, SNP). Berbagai kelemahan tersebut
menuntut pengembangan teknologi pengurutan generasi berikutnya yang akan
dibahas lebih lanjut.
Teknologi Pengurutan
Generasi Ketiga
Dengan berbagai kelemahan yang
terdapat pada teknologi pengurutan generasi kedua, teknologi pengurutan
generasi ketiga pun dikembangkan untuk menyediakan solusi terhadap berbagai
kelemahan tersbeut. Terdapat tiga kriteria yang membuat sebuah sistem
pengurutan digolongkan sebagai generasi ketiga. Kriteria pertama adalah sistem
tersebut harus dapat melakukan pengurutan dengan menggunakan template urutan tunggal dan bukan
amplikon hasil PCR. Hal ini berarti sistem tersebut dapat menghilangkan tahapan
PCR dalam konstruksi template library
genom namun harus cukup sensitif untuk mendeteksi sinyal pengurutan pada skala
satu molekul template. Kriteria berikutnya adalah sistem pengurutan generasi
ketiga harus dapat menghasilkan bacaan urutan dengan panjang minimal 1.000 basa
(1 kb). Hmm..tentunya ini kabar menggembirakan untuk mereka yang berkutat dalam
pengembangan algoritma perangkaian genom yak. Kriteria ketiga yang tentunya
menjadi titik unggul dari teknologi generasi ketiga ini adalah kemampuannya
untuk melakukan pengurutan secara real-time, atau dengan kata lain kita dapat
melihat secara langsung bacaan urutan yang dihasilkan bersamaan dengan proses
pengurutan yang sedang berlangsung.
Gambar 2. Sistem pengurutan DNA generasi ketiga, Pacific Biosciences RS II (kiri) dan Oxford Nanopore Technologies MinION MkII (kanan). |
Dua pabrikan yang sudah
mengembangkan teknologi pegurutan generasi ketiga di antaranya adalah Pacific
Biosciences (PacBio) dengan produknya yang bernama RS II dan Oxford Nanopore Technologies
(ONT) dengan produknya yang bernama MinION MkII. PacBio RS II menerapkan
pengembangan teknologi deteksi sinyal cahaya yang bernama zero-mode waveguide (ZMW). Teknologi ZMW ini sangat sensitif dalam
menangkap sinyal fluoresensi bahkan pada tingkat template molekul tunggal. Metode
pengurutan yang diterapkan dalam PacBio RS II adalah dengan mengikatkan enzim
DNA polimerase yang telah direkayasa sedemikian rupa ke dalam sebuah pelat ZMW dengan
lubang-lubang ukuran nano sedemikian rupa sehingga hanya terdapat satu buah
enzim dalam setiap lubang. Setelah itu, molekul DNA template beserta analog
nukleotida bebas dengan penanda fluoresens ditambahkan ke pelat ZMW tersebut
sehingga membuat enzim DNA polimerase dapat menjalankan reaksinya. Selama reaksi
berlangsung, enzim DNA polimerase akan menggabungkan molekul analog nukleotida
ke dalam template dengan nukleotida yang komplementer. Setiap kali enzim
polimerase menggabungkan analog nukleotida, penanda fluoresense akan terlepas
dan menghasilkan sinyal warna yang spesifik untuk setiap jenis nukleotida.
Sinyal warna ini akan langsung dibaca oleh detektor yang terdapat di bawah
pelat ZMW dan kemudian diterjemahkan sebagai sinyal nukleotida. Proses
pengurutan dengan cara ini juga mampu menghasilkan urutan yang cukup panjang,
umumnya pada kisaran 3 kb hingga 5 kb.
Oxford Nanopore Technologies MinION
MkII, seperti yang diindikasikan oleh namanya, menggunakan teknologi nanopori
untuk mengurutkan DNA. Penerapan teknologi ini didasarkan pada temuan sebuah
protein membran bernama alfa-hemolysin yang dapat memasukkan untai DNA ke dalam
sel. Dengan mengaplikasikan arus listrik pada membran sel, proses masuknya
untai DNA ini diharapkan dapat mengganggu aliran arus listrik sedemikian rupa
sehingga polanya dapat diterjemahkan ke dalam urutan nukleotida. Membran
nanopori tersebut kemudian disempurnakan lebih lanjut sehingga mampu memberikan
resolusi yang lebih jelas dan tegas urutan nukleotida yang melewatinya.
Teknologi ini tidak membutuhkan enzim polimerase atau molekul nukleotida dengan
penanda fluoresens. Secara teoritis, panjang bacaan urutan yang dihasilkan juga
hanya dibatasi oleh panjang untai template yang dimasukkan. Beberapa penelitian
yang menggunakan ONT MinION MkII melaporkan panjang bacaan urutan yang dihasilkan
mampu mencapai 98 kb, namun rata-rata pada kisaran 10 kb. Selain daripada itu,
kebutuhan arus listrik yang kecil juga membuat dimensi fisik mesin pengurut DNA
ini jauh lebih kecil dibanding yang lain, yakni hanya sedikit lebih besar dari
USB flashdrive yang kita lihat sehari-hari. Hal ini memberikan keunggulan
karena sistem pengurutan ONT MinION dapat dibawa ke lapangan untuk pengurutan
DNA secara langsung. Virus Ebola menjadi salah satu yang genomnya diurutkan
dengan sistem ini. Namun demikian, berbagai studi yang membandingkan sistem
pengurutan memberikan gambaran bahwa akurasi bacaaan urutan ONT MinION termasuk
yang paling kecil dibanding yang lainnya. Faktor tersebut yang sepertinya membatasi
penggunaan MinION hanya pada pengurutan genom bakteri dan virus saja. Namun
untuk ke depannya, tidak menutup kemungkinan bahwa ONT akan mengembangkan
sistem pengurutan serupa yang sudah mampu diaplikasikan kepada genom eukariot
atau bahkan mamalia dan tumbuhan.
Secara umum, teknologi pengurutan DNA
generasi ketiga telah mampu menjawab kelemahan yang terdapat pada teknologi
generasi sebelumnya. Namun bukan berarti bahwa pengembangannya hanya akan
berhenti sampai disini saja. Generasi selanjutnya dari teknologi pengurutan ini
akan terus menyempurnakan kelemahan dari generasi sebelumnya. Pada suatu saat
di masa depan, bukannya tidak mungkin bahwa sebuah teknologi pengurutan mampu mengurutkan
untai DNA dari ujung satu hingga ke ujung lain dalam sekali jalan, memberikan
bacaan dengan akurasi tinggi, serta waktu pengurutan per genom yang lebih
cepat. Impian tentang 1000 USD per genom sebentar lagi akan, atau mungkin, sudah
tercapai pada saat ini.
Penutup
Oke, saya rasa cukup sampai disini
dulu tulisan tentang teknologi pengurutan DNA-nya. Pada tulisan berikutnya saia
akan coba membahas tentang bagaimana merangkai potongan-potongan bacaan urutan
DNA tersebut agar kita bisa mendapatkan sebuah genom utuh serta apa saja
tantangan dalam proses perangkaiannya. Ditunggu yak!!!
Victor Aprilyanto
Bacaan Lanjutan
Ulasan yang bagus mengenai perbandingan antar
sistem pengurutan dapat dibaca pada Metzker (2010). Ulasan tersebut juga
dilengkapi dengan ilustrasi yang mendetail untuk setiap metode yang digunakan.
Saya sangat menyarankan untuk membaca Metzker (2010) bagi teman-teman yang
ingin memahami lebih lanjut mengenai teknologi pengurutan DNA karena rincian
yang lebih dalam dari setiap metode tidak dibahas dalam tulisan ini. Artikel
lainnya yang saya cantumkan adalah publikasi pertama dari teknologi pengurutan
yang dibahas di atas
Metzker, M. L. 2010.
Sequencing technologies - the next generation. Nature Reviews Genetics 11: 31-46.
Eid, J., A. Fehr, J. Gray, K. Luong, J. Lyle, G. Otto,
P. Peluso, D. Rank, P. Baybayan, B. Bettmann, A. Bibillo, K. Bjornson, B.
Chaudhuri, F. Christians, R. Cicero et al.
2009. Real-time DNA sequencing from single polymerase molecules. Science 323 (5910): 133–138.
Branton, D., D. W. Deamer, A. Marziali, H. Bayley, S.
A. Benner, T. Butler, M. DiVentra, S. Garaj, A. Hibbs, X. Huang, S. B.
Jovanovich, P. S. Krstic, S. Lindsay, X. S. Ling, C. H. Mastrangelo et al. 2008. The potential and
challenges of nanopore sequencing. Nature
Biotechnology 26 (10): 1146–1153.
Margulies, M., M. Egholm, W. E. Altman, S. Attiya, J.
S. Bader, L. A. Bemben, J. Berka, M. S. Braverman, Y-J. Chen, Z. Chen, S. B.
Dewell, L. Du, J. M. Fierro, X. V. Gomes, B. C.Godwin et al. 2005. Genome sequencing in microfabricated high-density picolitre
reactors. Nature 437: 376–380.
Quick, J. et al.
2016. Real-time, portable genome sequencing for Ebola surveillance. Nature 530: 228-232.
Shendure, J., G. J. Porreca, N. B. Reppas, X. Lin, J.
P. McCutcheon, A. M. Rosenbaum, M. D. Wang, K. Zhang, R. D. Mitra, & G. M.
Church. 2005. Accurate multiplex polony sequencing of an evolved bacterial genome.
Science 309 (5741): 1728–1732.
Valouev, A., J. Ichikawa, T. Tonthat, J. Stuart, S.
Ranade, H. Reckham, K. Zeng, J. A. Malek, G. Costa, K. McKernan, A. Sidow, A.
Fire, & S. M. Johnson. 2008. A high-resolution, nucleosome position map of C. elegans
reveals a lack of universal sequence-dictated positioning. Genome Research 18: 1051-1063.
1 komentar:
Keren bro..ditunggu tulisan berikutnya. Mbk Hana papua
Posting Komentar