Judul : The
Walking Whales – From Land to Water in Eight Million Years
Pengarang : Hans Thewissen
Publisher : University of
California Press
Tahun
Terbit : 2014
Dimensi (P
x L x T cm) : 23,5 x 15,2 x 1,7 cm; x
+ 245 halaman
Dalam beberapa bulan sejak saia mulai sedikit
rajin membaca buku, sepertinya ini merupakan genre buku baru yang pernah saia
baca. Yaa, seperti yang tertulis pada judulnya, buku ini menceritakan tentang
perjalanan evolusi paus, kelompok mamalia yang saat ini seluruh anggotanya
merupakan penghuni perairan. Cerita yang tersaji di dalam buku ini cukup
menarik, mengetahui bahwa dulunya leluhur dari bangsa paus (Cetacea) ini
merupakan hewan darat yang berkerabat dekat dengan kelompok hewan berkuku genap
(Artiodactyla). Saia raasa, bagi teman-teman yang menggeluti anatomi hewan,
khususnya vertebrata, akan sangat terinspirasi dengan tulisan di dalam buku
ini.
Cerita dalam buku ini terbagi dalam 15 bab yang
dituturkan dengan rangkaian kronologisnya (awal penelitian paleontologi paus
hingga sekarang). Uraian daftar isi yang terdapat dalam buku ini: (1) A wasted dig; (2) Fish, mammal, or dinosaur?; (3) A
whale with legs; (4) Learning to swim;
(5) When the mountains grew; (6) Passage to India; (7) A trip to beach; (8) The otter whale; (9) The ocean is desert; (10) The skeleton puzzle; (11) The river whales; (12) Whales conquer the world; (13) From embryos to evolution; (14) Before whales; (15) The way forward. Isi buku cukup mudah dan menarik untuk dipahami.
Selain menjabarkan proses evolusi paus, penulis juga memulai setiap bab dengan
catatan perjalanan ekskavasi fosilnya di daratan Pakistan dan India yang
menarik dan cukup menegangkan.
Proses evolusi paus dijabarkan secara lengkap
serta menyeluruh. Walaupun fokus utama buku ini adalah penyelidikan berdasarkan
perbandingan anatomi fosil, namun penulis juga menjabarkan berbagai analisis filogenetika
molekular yang mengonfirmasi evolusi serta hubungan kekerabatan antar fosil
paus. Semua data saling melengkapi sebagai satu kesatuan yang indah menggambarkan
kompleksitas evolusi selama delapan juta tahun lamanya. Seluruh fosil paus yang
dideskripsikan dalam buku ini dikenali sebagai paus melalui tiga ciri utama,
yakni tulang timpani yang menebal membentuk involucrum, pola gigi, serta salah
satu tulang pada pergelangan kaki yang disebut astragalus (khusus untuk paus
awal evolusi yang masih memiliki tungkai).
Evolusi paus merupakan satu proses yang
melibatkan banyak adaptasi baik secara genetis, anatomis, serta prilaku. Hal
ini jelas dibutuhkan karena evolusinya mencakup hingga pergantian habitat dari
daratan ke lautan. Beberapa ciri adaptasi penting yang dapat saia uraikan
secara singkat adalah penebalan tulang (pachyosteosclerosis), migrasi lubang
mata, cara bergerak / lokomosi, cara makan, cara minum (ingat perbedaan
salinitas antara air tawar dengan air laut), hingga teknik mendengar dan
ekolokasi. Dari seluruh adaptasi tersebut, saya paling takjub dengan adaptasi
cara berenang dan mendengar di dalam air. Disini saia pun berpikir bahwa “gerakan
lumba-lumba” yang dilakukan oleh manusia
ketika berenang sepertinya lebih tepat disebut gerakan Basilosaurid (dorsoventral caudal undulation)
ketimbang gerakan lumba-lumba (caudal
oscillation)…hahaha.
Untuk menggambarkan adaptasi cara berenang,
coba bayangkan bagaimana caranya seekor hewan dengan empat tungkai dan ekor
berenang menyusuri perairan (sungai). Seiring dengan waktu evolusi pada bukti
fosil, terdapat perubahan anatomis keempat tungkai dan ekor. Secara umum,
tungkai belakang menjadi semakin pendek hingga pada akhirnya mereduksi pada
paus saat ini. Ekor pun mengalami modifikasi membentuk sirip (fluke). Adaptasi yang tidak kalah hebat
juga terjadi pada struktur pendengaran. Struktur indera pendegaran paus semasa
masih di darat dengan yang sepenuhnya hidup di laut ternyata banyak mengalami
perubahan. Perubahan ini telah memungkinkan paus untuk mendeteksi arah bunyi di
dalam air, sesuatu yang tidak dapat dilakukan menggunakan struktur pendengaran
hewan darat. Untuk melakukan ini, diperlukan modifikasi yang berupa perbesaran
foramen mandibularis, reorientasi tulang osikula telinga, hingga pemisahan
tulang petrosus dari tengkorak.
Selain dari bukti fosil, penulis juga menyuguhkan
tentang rekonstruksi hubungan kekerabatan antar paus menggunakan teknik
filogenetika molekular. Bukti inilah yang merubah konstelasi sistematika paus
(Cetacea) yang sebelumnya terpisah menjadi tergabung dengan Artiodactyla.
Berdasarkan analisis terhadap data urutan DNA daerah short interspersed nuclear element (SINE) kelompok paus memiliki
hubungan kekerabatan dengan kuda nil. Usulan pun bermunculan, apakah akan menggabungkan
kedua ordo tersebut menjadi satu, Cetartiodactyla; atau masih menetapkan
pemisahan keduanya dengan sebuah catatan bahwa kelompok artiodactyla sekarang
menjadi kelompok yang bersifat parafiletik. Kenyataan bahwa leluhur paus
merupakan hewan darat bertungkai serta penemuan lumba-lumba “berkaki” di Jepang
yang bernama Haruka membuat penulis juga membahas tentang embriologi paus dari
segi anatomis dan juga molekular di bab selanjutnya. Pada bagian akhir penulis
juga menyadari bahwa buku yang ditulisnya tidak hanya berhenti pada titik
tersebut dan justru membuka berbagai pertanyaan dan juga penelitian lanjutan.
Victor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar