Being Mortal: Medicine and What Matters in the End (2014) merupakan buku keempat yang
saia ikuti dari Atul Gawande, seorang penulis sekaligus juga dokter bedah
endokrin di Amerika. Buku ini muncul setelah kemunculan tiga buku sebelumnya
yang berjudul Complications: A Surgeon's
Notes on an Imperfect Science (2002); Better:
A Surgeon's Notes on Performance (2007); dan The Checklist Manifesto: How to get Thing Right (2009).
Sebenarnya buku ini saia pesan
secara online sejak Desember 2014 lalu, jadi agak telat sih karena baru
diselesaikan sepuluh bulan kemudian. Buku yang saya beli memiliki format
hardcover dengan harga 300.000 rupiah. Sebagai informasi, baru-baru ini
(3/10/2015) saia melihat buku tersebut telah tersedia di toko buku Periplus Mal
Kelapa Gading dalam format paperback. Saya lupa harganya berapa, tapi kalau di
cek secara online harganya 215.000 rupiah. So, bagi yang berminat bisa segera
membeli, namun bagi yang masih ragu-ragu mungkin bisa tahu sedikit melalui
review ini.
Buku ini memiliki dimensi 22,5 x 14
cm dengan tebal vii + 283 halaman. Isi dari buku ini terdiri atas: Introduction; 1 - The Independent Self; 2 - Things
Fall Apart; 3 – Dependence; 4 – Assistance; 5 – A Better Life; 6 – Letting Go;
7 – Hard Conversations; 8 – Courage; Epilogue. Gaya penulisannya mirip seperti pada judul-judul
sebelumnya yakni dengan pemaparan kasus yang dilanjutkan dengan pengembangan
inti dari kasus tersebut beserta dengan penawaran solusinya. Akhir dari setiap
bab juga dilengkapi dengan bagaimana hasil
dari penerapan solusi yang ditawarkan tersebut. Bab 2 - Things Fall Apart dan 5 - Letting Go telah dipublikasikan lebih
dulu di majalah The New Yorker dan kembali dimuat di dalam buku ini.
Rangkaian bab yang ada di dalam buku
ini seluruhnya merujuk pada satu tema di dalam dunia kedokteran, yakni
bagaimana dunia kedokteran menyikapi penuaan dan kematian. Tentu saja, setiap
manusia pada akhirnya pasti akan mati. Namun bagaimana sikap para dokter dalam
menyikapi fakta bahwa pasiennya akan mengalami hal tersebut dan menyertai
segala prosesnya hingga akhir menjadi isu yang dibahas di dalam buku ini. Pada
kenyataannya, di bagian Introduction penulis
memaparkan pengalamannya selama kuliah bahwa dia tidak banyak belajar mengenai
penanganan penuaan dan kematian di dalam dunia kedokteran. Referensi yang
didapatkannya tidak banyak mengurai tentang bagaimana bidang tersebut menangani
penuaan, pelemahan, dan kematian; hal-hal yang pastinya akan dihadapi oleh
sebagian besar manusia di dunia ini.
Bab 1 mengangkat perbedaan mengenai
gaya hidup antara masyarakat dunia timur dan barat pada umumnya. Salah satu
contoh yang digunakan penulis pada bab ini adalah kakeknya sendiri, Sitaram
Gawande yang hidup di daratan India. Penulis menerangkan bahwa masyarakat timur memiliki budaya generasi muda menyokong
generasi yang tua. Hal ini tentunya membuat para orang tua sering
terlihat hidup bersama dengan salah satu anak mereka dan terus disokong
selama menjalani masa tua hingga pada akhirnya mereka meninggal. Budaya ini
tampak berlawanan dengan gaya hidup di dunia barat, dimana anak-anak yang telah
besar dan sudah berpenghasilan cenderung menetap terpisah dari keluarganya.
Dengan demikian, di dunia barat sering didapatkan bahwa para orang tua
seringkali hidup sendiri dengan hanya sesekali dikunjungi oleh anak-anaknya
serta banyak panti jompo untuk menampung mereka yang sudah tidak mampu lagi
untuk hidup secara mandiri. Fenomena yang berhubungan dengan penuaan seperti
pikun, gemetar, dan bahkan terjatuh cenderung menghantui mereka yang hidup
sendirian di rumah dan tidak jarang menjadi salah satu penyebab kematian yang
cukup besar di kalangan orang tua.
Bab 2 memulai ceritanya tentang
perubahan kurva kehidupan seseorang seiring dengan semakin majunya dunia
kedokteran. Pada jaman dahulu, kematian datang seperti layaknya pemburu tanpa
ampun yang siap memburu siapa saja yang lengah. Kematian itu dapat datang dalam
berbegai bentuk seperti penyakit infeksi, patah tulang, gegar otak, kanker dan
lainnya. Satu hal yang pasti, begitu dia datang, kecil kemungkinan korbannya
akan selamat. Di masa sekarang dengan semua kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran, kita telah dapat menunda kematian. Mulai dari pemasangan alat pacu
jantung, bedah rekonstruksi, berbagai macam antibiotik, hingga kemo- atau
radioterapi untuk memerangi kanker. Semua teknologi tersebut telah mengubah
kurva kehidupan seseorang, khususnya pada fase penuaan dan kematian, dari
penurunan tajam kualitas hidup menjadi penurunan yang agak melandai seiring
dengan waktu. Namun bagaimana kita sebagai manusia menghadapi perubahan ini
akan diceritakan di dalam kasus Alice Hobson yang sebelumnya telah dipaparkan
pada Bab 1.
Bab 3 hingga bab 5 menceritakan
bagaimana seseorang di dalam masa tuanya menghadapi kenyataan bahwa dirinya
semakin tidak mampu untuk hidup secara mandiri. Tentu saja, kasus yang
dibawakan pada ketiga bab tersebut menggunakan model budaya barat. Seiring
dengan penuaan dan ketidakmampuan untuk hidup secara mandiri, orang-orang tua
disana harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus disokong bagaimanapun
caranya. Bentuk sokongan terhadap orang-orang tua yang cukup lazim disana
adalah mendaftarkan mereka ke panti jompo (nursing
home). Namun demikian, kesimpulan yang diangkat dari beberapa kasus yang
dibahas menyatakan bahwa sebagian besar orang tua tidak menyukai hidup di panti
jompo. Alasan mereka beragam, namun semuanya bermuara pada satu hal, yakni
kehilangan privasi serta kendali dan otonomi atas sekitarnya. Mereka adalah
orang tua, namun ketika mereka tidak mampu untuk mandiri tidak semestinya
mereka diperlakukan seperti anak kecil. Beberapa perbaikan mulai dari kebijakan
pemerintah hingga pendirian pusat perawatan orang tua alternatif mulai
bermunculan sebagai reaksi atas ketidakpuasan mereka yang hidup di panti jompo.
Beberapa bahkan cukup radikal seperti memperbolehkan orang tua untuk memelihara
binatang, melatih berjalan dengan menggunakan tongkat dibandingkan kursi roda,
dan menggabungkan tempat perawatannya dengan sekolah dasar dimana para orang
tua dapat menjadi mentor paruh waktu. Hasil yang didapatkan dari penyimpangan
tersebut cukup mengejutkan, mulai dari penurunan kebutuhan obat-obatan, rawat
inap, unit gawat darurat dan perawatan medis lainnya.
Bab 6 memfokuskan cerita tidak pada
orang tua, namun pada mereka yang mengalami penyakit serius atau dengan kata
lain, mereka yang sudah ditentukan umurnya oleh para dokter. Bab ini mengangkat
kasus salah satu pasien bernama Sara Monopoli, seorang calon ibu yang mengalami
kanker paru-paru stadium lanjut yang telah bermetastasis. Dengan diagnosisnya
itu, dia menjalani tiga tahapan kemoterapi yang ternyata sia-sia dalam
mengobati kankernya. Menghadapi kenyataan ini dia dan suaminya dihadapkan pada
dua pilihan, apakah untuk melanjutkan kemoterapi lainnya atau menjalani
perawatan di rumah. Fokus utama dari bab ini menitikberatkan pada pengambilan
keputusan baik bagi dokter maupun pasien, dimana dalam situasi tersebut
haruskah mereka melanjutkan atau menyerah. Dokter, dengan pendidikan dan
pengalamannya jelas tidak akan kehabisan cara untuk menangani pasien seperti
Sara Monopoli. Dia dapat menawarkan berbagai obat kemoterapi sambil menyodorkan
data-data terkair peluang keberhasilannya. Jadi jelas, pengambil keputusan
utama terletak di tangan pasien. Namun apa yang perlu menjadi pertimbangan
untuk mengambil keputusan menyangkut hidup dan mati ini? Menurut saia, bab ini
merupakan bab yang paling menyentuh, sebab pada akhirnya baik Sara ataupun
keluarganya sudah tidak kuat menghadapi penderitaan yang ditimbulkan dari berbagai
penanganan medis yang dilakukan. Akhir kata, mereka memutuskan untuk hanya
merawat Sara dan mengijinkan waktu untuk mengambilnya. Di akhir bab, Sara hanya
ditemani oleh suaminya, Rich, yang sesaat sebelum kematiannya membisikkan “it’s okay to let go. You don’t have to fight
anymore. I will see you soon.” Setelah itu, pada esok paginya nafas Sara
semakin melambat dan pada akhirnya berhenti.
Bab 7 dan 8 membahas kaitan antara
hubungan antara pasien dengan dokter. Kedua bab ini juga tidak kalah menyentuhnya
karena penulis membahas tentang ayahnya sendiri, Atmaram Gawande. Bab 7
menceritakan bahwa ayahnya didiagnosis mengalami tumor pada saraf spinal dan
diperlukan tindakan operasi. Mereka kemudian berkonsultasi pada dua ahli bedah
saraf terkemuka. Keduanya menyarankan untuk tindakan operasi, namun dokter
pertama ingin tindakan itu segera dilakukan dengan segala resikonya, sementara
yang kedua ingin mempertimbangkannya lebih lanjut dengan pasien sebelum operasi
dilakukan. Pada kasus ini diceritakan bahwa dunia kedokteran kebanyakan
memiliki dua golongan dokter. Golongan pertama adalah “Dr.Knows-Best” yang cenderung hanya mendengarkan pendapatnya
sendiri tanpa mempertimbangkan keinginan pasien. Pada sisi seberang terdapat
golongan kedua, yakni “Dr.Informative”
yang memberikan segala pilihan berikut resikonya dan kemudian membiarkan pasien
yang memilih. Namun demikian, dokter yang diharapkan oleh pasien jatuh pada
golongan ketiga, yakni “Dr.Interpretive”
yang memberikan pilihan sambil memandu proses pemilihannya berdasarkan
prioritas yang dibuat oleh pasien. Menjadi dokter dari golongan ketiga ini tidaklah mudah
karena terkadang beberapa pertanyaan sensitif harus diutarakan selama memandu
pasien dalam menentukan pilihan. Beberapa pertanyaan seperti apa yang sangat
diinginkan oleh pasien di dalam hidup, resiko apa yang sanggup diterima oleh
pasien jika operasinya berjalan lancar atau tidak lancar, hingga pada
perpisahan seperti apakah yang diinginkan jika ruang operasi menjadi tempat
terakhir di masa hidupnya.
Hal tersebut dilalui oleh penulis
dan juga ayahnya dengan lancar, namun diceritakan bahwa komplikasi muncul
beberapa bulan kemudian akibat perkembangan tumornya. Di akhir bab 8,
diceritakan bahwa ayahnya memilih untuk dirawat di rumah dengan bantuan hospice (saia kesulitan menerjemahkan
istilah ini) seiring dengan kondisi kesehatannya yang semakin menurun.
Pertimbangannya, ayahnya lebih memilih untuk menikmati sisa hidupnya di tempat
yang dia anggap sebagai rumah (home)
dikelilingi oleh orang-orang yang dia cintai. Pada akhirnya ayahnya meninggal
di tempat tidur dikelilingi oleh istri dan anak-anaknya.
Bagian epilog menjadi penutup
sekaligus merangkum seluruh inti cerita dari buku ini. Dalam kesimpulannya,
dunia kedokteran masih cukup awam ketika berhadapan dengan penuaan dan kematian.
Bidang-bidang terkait seperti studi gerontologi, manajemen perawatan paliatif,
serta fasilitas perawatan hospice
dipandang masih cukup minim jika
dibandingkan dengan bidang studi kedokteran lainnya. Ke depannya,
hal-hal seperti ini tentu menjadi lebih
dibutuhkan seiring dengan keinginan setiap manusia untuk selalu menjadi berarti
bagi dirinya dan juga sekelilingnya pada saat mereka hidup hingga menjelang
kematiannya. Akhir dari cerita menuliskan bahwa ayahnya dikremasi dan abunya
ditaburkan ke sungai Gangga di India.
Victor.