Buku ini ditulis oleh Elizabeth Kolbert selain
daripada buku The Sixth Extinction yang pernah saia tulis reviewnya sebelum
yang ini. Jika dirunut menurut tahun penerbitan Field Notes from a Catastrophe meluncur
pada 2006, sembilan tahun lebih awal dibandingkan The Sixth Extinction. Jadi
singkat kata, saia membaca (dan juga membuat review buku) dengan urutan yang
terbalik. Buku ini saia pesan secara online melalui Periplus dengan harga IDR 255.000
dan tiba di tangan pada tanggal 26 Oktober 2015. Ternyata saia cukup beruntung,
karena buku yang saia pesan ini selain merupakan cetakan yang diperbaharui
ternyata juga ditambah dengan empat bab tambahan. Jadi, bagi yang telah membaca
buku yang sama pada cetakan sebelumnya, mungkin kalian berminat untuk memesannya
lagi demi empat bab tambahannya…hehehe.
Buku ini memiliki dimensi 21 x 14 cm dengan
tebal xii + 308 halaman. Isi buku ini ditata ke dalam 14 bab yang dikelompokkan
ke dalam tiga bagian sebagai berikut:
I.
Nature
1. Shishmaref: Alaska
2. A Warmer Sky
3. Under the Glacier
4. The Butterfly and the Toad
II.
Man
5. The Curse of Akkad
6. Floating Houses
7. Business as Usual
8. The Day after Kyoto
9. Burlington, Vermont
10. Man in the Anthropocene
III.
Time
11. Ten Years On
12. The Darkening Sea
13. Unconventional Crude
14. The Island in the Wind
Nah seperti yang kalian lihat, empat bab
tambahan pada cetakan terbaru ini dibuatkan satu bagian tersendiri, yakni
bagian III. Time. Saia akan menceritakan secara garis besar dari satu
bagian ke bagian lain saja dengan tujuan menambah rasa penasaran teman-teman
pembaca terhadap buku ini. Secara garis besar, buku ini memfokuskan diri pada aktivitas
serta dampak dari pemanasan global yang hingga review ini saya tulis, lajunya
masih terus meningkat. Menindaklanjuti dampak tersebut, berbagai upaya
dilakukan baik dari sektor pemerintah dengan kebijakan-kebijakan politisnya
hingga ke beberapa elemen masyarakat yang mempersiapkan diri untuk menghadapi
situasi terburuk. Walaupun kelihatan pesimistik, cerita pada bagian akhir bab
ini menawarkan harapan bahwa kita sebagai spesies yang paling berakal dapat
meringankan dampak ini. Hmm…bab optimistis inilah yang paling saya suka dari
seluruh bab lainnya yang sangat menarik dan menegangkan namun hanya
meninggalkan kesan miris di kepala setelah membacanya.
Empat bab pada bagian pertama meninjau tentang
dampak pemanasan global yang dilakukan oleh manusia sejak jaman pra-industri yang
ditandai oleh penemuan mesin uap pada tahun 1769 (konsentrasi CO2 atmosferik 283
ppm) hingga tahun 2003 (konsentrasi CO2 atmosferik 375 ppm). Dampaknya? Ya
sudah pasti, dimulai dengan semakin melelehnya es di kutub utara dan selatan
yang nantinya akan berdampak pada peningkatan muka air laut serta merendam
seluruh garis pantai yang ada sekarang ini. Selain dari dampak di atas yang
sudah dapat kita duga, ternyata ada dampak lainnya yang juga menyusul.
Pelelehan zona permafrost di daratan lingkar artik juga tidak kalah
mengkhawatirkan karena zona tersebut menyimpan sejumlah besar biomassa dalam
keadaan beku. Jika es di atasnya meleleh, maka bisa dipastikan akan terjadi
dekomposisi besar-besaran disana yang kemudian memicu pelepasan karbon dioksida
yang jauh lebih besar. Dampak sampingan lainnya dari pemanasan global adalah
pada pola distribusi sejumlah hewan maupun tumbuhan. Seiring dengan pemanasan
global, hewan maupun tumbuhan cenderung mengarahkan distribusinya ke arah
kutub, menyesuaikan diri mereka terhadap suhu yang baru. Fenomena ini tentunya
akan berdampak pada biodiversitas global yang rinciannya bisa dibaca pada buku
The Sixth Extinction.
Bagaimana kita sebagai manusia menyikapi
berbagai fenomena akibat pemanasan global ini. Kita telah mengetahui secara
jelas bahwa biang kerok dari semua ini adalah kumpulan gas rumah kaca yang terutama
didominasi oleh karbon dioksida (sisanya adalah metana, gas bernitrogen dan
juga gas berbelerang). Yup, protokol Kyoto merupakan wujud respon kepedulian
serta usaha dari seluruh negara untuk mengurangi laju produksi karbon dioksida
ke atmosfer. Sebuah ironi karena negara sebesar Amerika ternyata tidak setuju
dengan protokol tersebut. Melihat hubungan yang linear antara kemuajuan ekonomi
dengan konsumsi energi, tentu saja wajar bagi mereka untuk tidak menyetujui
protokol tersebut. Buku ini menceritakan bagaimana intrik-intrik yang terjadi
disana yang membuat negara tersebut tidak ingin ikut andil dalam protokol
Kyoto, mulai dari kekukuhan mereka terhadap bukti sains yang dianggap belum
cukup meyakinkan hingga drama-drama politik yang melibatkan kubu demokrat dan
republik.
Walaupun pada akhirnya Amerika memutuskan untuk
menyetujui dan melaksanakan protokol Kyoto di negaranya, namun apa yang terjadi
dapat dikatakan sepertinya sudah terlambat. Well, saia sendiri tidak berani
mengatakan bahwa seandainya Amerika langsung menyetujui protokol Kyoto, maka
kemalangan dapat dihentikan. Yup, sebelum protokol Kyoto dicanangkan, pada
ilmuwan telah mengestimasi batas kritis konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.
Menurut pandangan mereka jika batas ini terlewati maka dampak pemanasan global
akan semakin nampak seiring dengan waktu alias the point of no return. Kisaran
batas kritis ini adalah pada konsentrasi CO2 atmosferik pada rentang antara
450-500 ppm. Sebagai informasi, konsentrasi CO2 atmosferik pada 2013 sudah
menyentuh angka 400 ppm. Batas kritis memang belum tercapai, namun dengan
pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun, maka prediksinya adalah kita akan menikmati
dampak pemanasan global pada pertengahan abad ini. Jika dampak yang saia
tuliskan di atas belum cukup, sekarang mulai tambahkan dampak lainnya yang
meliputi hilangnya keanekaragaman lautan serta daratan, badai yang semakin kencang,
luas daratan yang semakin berkurang, dan….rumah apung yang sekarang mulai marak
dibangun di Belanda.
Namun demikian, di bab terakhir dari buku ini
penulis mengunjungi sebuah kota di Denmark yang sudah menyadari akan fenomena
pemanasan global dan memutuskan untuk berubah. Dengan usahanya untuk beralih ke
energi terbaharukan dan membatasi konsumsi energi para penduduknya, kota Samsø
di Denmark berhasil menjadi kota zero emission tahunan pertama di dunia.
Keberhasilan ini melirik banyak pihak untuk mempelajarinya. Salah satu hasil
analisis yang dilakukan oleh peneliti Swiss adalah laju kenaikan konsentrasi
CO2 di atmosfer dapat diperlambat dan (optimisnya) dapat diturunkan jika setiap
manusia di bumi menjalani pola hidup yang membatasi penggunaan energi ke angka
2000 watt untuk setiap jam-nya yang diistilahkan sebagai masyarakat 2000-watt. Bagi
negara-negara dunia ketiga hal ini
tentunya tidak masalah, namun menjadi masalah pada negara-negara industri.
Setiap warga Amerika dan Kanada umumnya menghabiskan 12.000 Watt untuk setiap
jam nya. Tentunya kita juga tidak dapat mematok harga mati untuk pembatasan
energi ini, namun paling tidak batasan ini dapat dijadikan acuan bagi kita
untuk berubah. Pada kondisi seperti ini, kita sudah tidak dapat lagi
berpandangan “think globally, act locally” karena yang ada hanyalah menciptakan
kesenjangan akibat kebutuhan hidup dasar antar masing-masing negara. Jadi, jargon
yang tepat untuk masalah energi dan pemanasan global ini adalah “think locally,
act locally”.
Victor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar