Senin, 02 November 2015

Review: Field Notes from a Catastrophe – Man, Nature, and Climate Change

Buku ini ditulis oleh Elizabeth Kolbert selain daripada buku The Sixth Extinction yang pernah saia tulis reviewnya sebelum yang ini. Jika dirunut menurut tahun penerbitan Field Notes from a Catastrophe meluncur pada 2006, sembilan tahun lebih awal dibandingkan The Sixth Extinction. Jadi singkat kata, saia membaca (dan juga membuat review buku) dengan urutan yang terbalik. Buku ini saia pesan secara online melalui Periplus dengan harga IDR 255.000 dan tiba di tangan pada tanggal 26 Oktober 2015. Ternyata saia cukup beruntung, karena buku yang saia pesan ini selain merupakan cetakan yang diperbaharui ternyata juga ditambah dengan empat bab tambahan. Jadi, bagi yang telah membaca buku yang sama pada cetakan sebelumnya, mungkin kalian berminat untuk memesannya lagi demi empat bab tambahannya…hehehe.
Buku ini memiliki dimensi 21 x 14 cm dengan tebal xii + 308 halaman. Isi buku ini ditata ke dalam 14 bab yang dikelompokkan ke dalam tiga bagian sebagai berikut:
I.                    Nature
1.       Shishmaref: Alaska
2.       A Warmer Sky
3.       Under the Glacier
4.       The Butterfly and the Toad
II.                  Man
5.       The Curse of Akkad
6.       Floating Houses
7.       Business as Usual
8.       The Day after Kyoto
9.       Burlington, Vermont
10.   Man in the Anthropocene
III.                Time
11.   Ten Years On
12.   The Darkening Sea
13.   Unconventional Crude
14.   The Island in the Wind

Nah seperti yang kalian lihat, empat bab tambahan pada cetakan terbaru ini dibuatkan satu bagian tersendiri, yakni bagian III. Time. Saia akan menceritakan secara garis besar dari satu bagian ke bagian lain saja dengan tujuan menambah rasa penasaran teman-teman pembaca terhadap buku ini. Secara garis besar, buku ini memfokuskan diri pada aktivitas serta dampak dari pemanasan global yang hingga review ini saya tulis, lajunya masih terus meningkat. Menindaklanjuti dampak tersebut, berbagai upaya dilakukan baik dari sektor pemerintah dengan kebijakan-kebijakan politisnya hingga ke beberapa elemen masyarakat yang mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi terburuk. Walaupun kelihatan pesimistik, cerita pada bagian akhir bab ini menawarkan harapan bahwa kita sebagai spesies yang paling berakal dapat meringankan dampak ini. Hmm…bab optimistis inilah yang paling saya suka dari seluruh bab lainnya yang sangat menarik dan menegangkan namun hanya meninggalkan kesan miris di kepala setelah membacanya.
Empat bab pada bagian pertama meninjau tentang dampak pemanasan global yang dilakukan oleh manusia sejak jaman pra-industri yang ditandai oleh penemuan mesin uap pada tahun 1769 (konsentrasi CO2 atmosferik 283 ppm) hingga tahun 2003 (konsentrasi CO2 atmosferik 375 ppm). Dampaknya? Ya sudah pasti, dimulai dengan semakin melelehnya es di kutub utara dan selatan yang nantinya akan berdampak pada peningkatan muka air laut serta merendam seluruh garis pantai yang ada sekarang ini. Selain dari dampak di atas yang sudah dapat kita duga, ternyata ada dampak lainnya yang juga menyusul. Pelelehan zona permafrost di daratan lingkar artik juga tidak kalah mengkhawatirkan karena zona tersebut menyimpan sejumlah besar biomassa dalam keadaan beku. Jika es di atasnya meleleh, maka bisa dipastikan akan terjadi dekomposisi besar-besaran disana yang kemudian memicu pelepasan karbon dioksida yang jauh lebih besar. Dampak sampingan lainnya dari pemanasan global adalah pada pola distribusi sejumlah hewan maupun tumbuhan. Seiring dengan pemanasan global, hewan maupun tumbuhan cenderung mengarahkan distribusinya ke arah kutub, menyesuaikan diri mereka terhadap suhu yang baru. Fenomena ini tentunya akan berdampak pada biodiversitas global yang rinciannya bisa dibaca pada buku The Sixth Extinction.
Bagaimana kita sebagai manusia menyikapi berbagai fenomena akibat pemanasan global ini. Kita telah mengetahui secara jelas bahwa biang kerok dari semua ini adalah kumpulan gas rumah kaca yang terutama didominasi oleh karbon dioksida (sisanya adalah metana, gas bernitrogen dan juga gas berbelerang). Yup, protokol Kyoto merupakan wujud respon kepedulian serta usaha dari seluruh negara untuk mengurangi laju produksi karbon dioksida ke atmosfer. Sebuah ironi karena negara sebesar Amerika ternyata tidak setuju dengan protokol tersebut. Melihat hubungan yang linear antara kemuajuan ekonomi dengan konsumsi energi, tentu saja wajar bagi mereka untuk tidak menyetujui protokol tersebut. Buku ini menceritakan bagaimana intrik-intrik yang terjadi disana yang membuat negara tersebut tidak ingin ikut andil dalam protokol Kyoto, mulai dari kekukuhan mereka terhadap bukti sains yang dianggap belum cukup meyakinkan hingga drama-drama politik yang melibatkan kubu demokrat dan republik.
Walaupun pada akhirnya Amerika memutuskan untuk menyetujui dan melaksanakan protokol Kyoto di negaranya, namun apa yang terjadi dapat dikatakan sepertinya sudah terlambat. Well, saia sendiri tidak berani mengatakan bahwa seandainya Amerika langsung menyetujui protokol Kyoto, maka kemalangan dapat dihentikan. Yup, sebelum protokol Kyoto dicanangkan, pada ilmuwan telah mengestimasi batas kritis konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Menurut pandangan mereka jika batas ini terlewati maka dampak pemanasan global akan semakin nampak seiring dengan waktu alias the point of no return. Kisaran batas kritis ini adalah pada konsentrasi CO2 atmosferik pada rentang antara 450-500 ppm. Sebagai informasi, konsentrasi CO2 atmosferik pada 2013 sudah menyentuh angka 400 ppm. Batas kritis memang belum tercapai, namun dengan pertumbuhan sekitar 2,5% per tahun, maka prediksinya adalah kita akan menikmati dampak pemanasan global pada pertengahan abad ini. Jika dampak yang saia tuliskan di atas belum cukup, sekarang mulai tambahkan dampak lainnya yang meliputi hilangnya keanekaragaman lautan serta daratan, badai yang semakin kencang, luas daratan yang semakin berkurang, dan….rumah apung yang sekarang mulai marak dibangun di Belanda.

Namun demikian, di bab terakhir dari buku ini penulis mengunjungi sebuah kota di Denmark yang sudah menyadari akan fenomena pemanasan global dan memutuskan untuk berubah. Dengan usahanya untuk beralih ke energi terbaharukan dan membatasi konsumsi energi para penduduknya, kota Samsø di Denmark berhasil menjadi kota zero emission tahunan pertama di dunia. Keberhasilan ini melirik banyak pihak untuk mempelajarinya. Salah satu hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti Swiss adalah laju kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer dapat diperlambat dan (optimisnya) dapat diturunkan jika setiap manusia di bumi menjalani pola hidup yang membatasi penggunaan energi ke angka 2000 watt untuk setiap jam-nya yang diistilahkan sebagai masyarakat 2000-watt. Bagi negara-negara dunia ketiga  hal ini tentunya tidak masalah, namun menjadi masalah pada negara-negara industri. Setiap warga Amerika dan Kanada umumnya menghabiskan 12.000 Watt untuk setiap jam nya. Tentunya kita juga tidak dapat mematok harga mati untuk pembatasan energi ini, namun paling tidak batasan ini dapat dijadikan acuan bagi kita untuk berubah. Pada kondisi seperti ini, kita sudah tidak dapat lagi berpandangan “think globally, act locally” karena yang ada hanyalah menciptakan kesenjangan akibat kebutuhan hidup dasar antar masing-masing negara. Jadi, jargon yang tepat untuk masalah energi dan pemanasan global ini adalah “think locally, act locally”.
 

Victor

Tidak ada komentar: