Sepaket dengan
buku terakhir yang saia review, buku ini juga saia beli melalui Periplus
online. Buku dengan judul How to Clone a Mammoth – The Science of De-extinction
ditulis oleh Beth Saphiro, seorang
associate profesor di bidang ekologi dan biologi evolusi University of
California Santa Cruz (UCSC). Dimensi buku ini adalah 24 x 16 cm dengan tebal
xiv + 220 halaman. Buku ini menceritakan kisah utamanya tentang bagaimana caranya
menghidupkan kembali hewan yang sudah punah menggunakan kemajuan di bidang
bioteknologi. Yaa setidaknya hanya itu yang saia bayangkan ketika membaca
ulasan singkat tentang buku ini di situs penjualan buku.
Sebanyak 11 bab
mengisi buku ini yang terdiri dari: (1) Reversing Extinction; (2) Select a
Species; (3) Find a Well Preserved Specimen; (4) Create a Clone; (5) Breed Them
Back; (6) Reconstruct the Genome; (7) Reconstruct Part of the Genome; (8) Now
Create a Clone; (9) Make More of Them; (10) Set Them Free; (11) Should We?.
Jika mengikuti alur judul bab satu per satu, maka teman-teman akan membayangkan
bahwa alur cerita di dalam buku ini bersifat metodik. Yup benar, buku ini
mengulas tentang langkah demi langkah yang perlu ditempuh jika kita ingin
menghidupkan kembali spesies yang telah punah.
Pada bab 1,
penulis memberikan sebuah fakta bahwa saat ini kita mungkin (atau sangat
mungkin) menghadapi fenomena kepunahan masal keenam. Banyak respon yang
ditimbulkan dari fenomena ini terhadap manusia, mulai dari aspek politik hingga
sains. Para ekolog dan ahli konservasi, tidak diragukan lagi pasti akan
menggalang gerakan konservasi skala besar untuk setidaknya memperlambat laju
kepunahan ini. Namun demikian, biar lambat pada akhirnya akan punah juga toh.
Nah ada satu pemikiran baru yang dicetuskan sebagai respon terhadap kemajuan
biologi molekuler dan bioteknologi saat ini. Bukannya tidak mungkin bahwa dalam
waktu dekat di masa depan kita akan mampu menghidupkan kembali spesies-spesies
yang telah punah tersebut. Namun demikian, coba bayangkan jika dilakukan
polling terhadap masyarakat di seluruh dunia mengenai spesies apa yang perlu
dihidupkan lebih dulu ke dunia ini dan mengapa? Bisakah kalian menjawabnya?
Jelas butuh
banyak pertimbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut, baik dari segi teknis
ataupun sosio-ekologis. Penulis juga telah merangkum daftar pertanyaan yang
perlu diajukan sebelum mencapai keputusan mengenai spesies apa yang perlu
dibawa kembali. Pertanyaannya dilontarkan dalam bahasa Inggris, dan saia akan
berusaha menerjemahkannya semirip mungkin. Pertanyaan tersebut di antaranya:
(1) mengapa spesies tersebut perlu dikembalikan dari kepunahannya?; (2) Bagaimana
dulunya spesies tersebut punah?; (3) Apabila spesies tersebut berhasil dibawa
kembali, apakah ada tempat yang cocok untuk hidup?; (4) Bagaimana dampak
spesies yang dibawa kembali tersebut terhadap lingkungan sekitarnya?; (5) Dapatkah
kita mempelajari genom dari spesies yang telah punah?; (6) Apakah ada cara
untuk merubah genom dari organisme yang hidup saat ini?; (7) Apakah mungkin
untuk merelokasi organisme yang dihasilkan cari penangkaran ke alam bebas?
Jika kita
telaah kembali ketujuh pertanyaannya, kita dapat melihat bahwa empat pertanyaan
pertama merupakan pertanyaan skala sosio-ekologis yang lebih ditujukan mengenai
pantas tidaknya suatu spesies dikembalikan dari kepunahan. Tiga pertanyaan
terakhir lebih menyinggung soal teknis pengembalian spesies yang telah punah
tersebut. Intinya dari ketujuh pertanyaan ini hadirlah beberapa kandidat
spesies yang akan menjadi calon untuk pengembalian dari kepunahan (de-extinction), di antaranya burung moa (Dinornis novazealandiae), burung dodo (Raphus cucullatus), Sapi
laut Steller (Hydrodamalis gigas), woolly mammoth (Mammuthus
primigenius), woolly
rhinoceros (Coelodonta antiquitatis), dan passenger pigeon (Ectopistes migratorius). Ternyata
kandidat yang terpilih adalah woolly mammoth.
Mulai dari sini, saia akan menyebutnya sebagai mamut saja.
Mengapa mamut?
Well, banyak faktor yang menjadi sebab terpilihnya si gajah berambut
tebal ini, mulai dari banyaknya fosil yang tersedia untuk dijadikan sumber DNA,
adanya kerabat dekat yang masih hidup hingga saat ini yaitu gajah asia (Elephas indicus), ketersediaan ekosistem
yang “mirip” dengan ekosistem tempat si mamut hidup dulu di Siberia utara,
hingga perkiraan potensi peningkatan biodiversitas di zona lingkar artika
dengan kehadiran mamut. Oke, dengan ditentukannya spesies yang akan dibawa
kembali dari kepunahan, lantas apa yang selanjutnya perlu dilakukan?
Penulis selanjutnya akan mengajak kita untuk berkenalan dengan
revolusi bioteknologi terkait. Jika teman-teman yang memiliki latar belakang
biologi ditanya tentang bagaimana caranya menciptakan hewan, maka pikiran
pertama yang muncul pasti adalah teknologi kloning. Ya persis seperti itulah
langkah pertama yang akan dilakukan. Namun demikian, hewan yang sudah punah
puluhan ribu tahun lamanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk
menyisakan sel yang masih hidup atau sel dengan inti yang masih utuh. Ya memang
begitulah faktanya, sejauh pencarian yang dilakukan tidak ditemukan adanya sel
mamut yang masih utuh untuk menjadi donor dalam proses kloning. Dengan
demikian, jelas kloning tidak dapat dilakukan.
Cara kedua adalah dengan melakukan penyuntingan genom (genome editing). Idenya adalah dengan
mencari sisa-sisa dari mamut berharap untuk mendapatkan DNA-nya. Setelah genom
mamut telah dipetakan dengan lengkap, maka kita akan melakukan penyuntingan
pada genom kerabat terdekatnya yakni gajah asia sehingga sel-sel nya dapat
mengekspresikan ciri mamut. Sesudah itu, tinggal dikloning deh. Namun ternyata
kenyataan di lapangan cukup berat, walaupun bukannya tidak mungkin. Hal ini
karena DNA mamut yang terdapat dalam fosil beku di daratan Siberia telah
terfragmentasi dengan berat. Dengan kata lain, agak sulit untuk bisa memetakan
genom lengkap dari mamut.
Oke, turunkan standar, tidak usah 100% mamut, cukup tetap gajah asia
namun yang menampilkan ciri-ciri mamut. Nah untuk ini sepertinya lebih mungkin
untuk dilakukan. Beberapa peneliti di dunia ada yang sudah berhasil mengungkap
ciri-ciri mamut berdasarkan fragmen genomnya. Salah satunya adalah mamut diketahui
memiliki protein hemoglobin yang bekerja jauh lebih efisien pada kondisi
lingkungan yang dingin. Selain daripada itu, ciri lainnya yang diketahui secara
penampakan adalah mamut memiliki rambut yang jauh lebih tebal daripada
kerabatnya yang hidup di Asia atau Afrika sana. So, berangkat dari ide
mengembalikan seekor mamut, sekarang kita mengarah ke menciptakan gajah asia
dengan ciri mamut. Dengan emajuan bioteknologi, kita telah dapat melakukan
penyuntingan genom. Dua teknik yang dibahas di dalam buku ini menggunakan zinc finger nucleases (ZFN), transcription activator-like effector
nucleases (TALEN), dan clustered
regularly interspaced short palindromic repeats (CRISPR/Cas9). Setelah
hitung-hitungan, penyuntingan genom gajah asia, setelah pemisahannya dengan
mamut yang berlangsung 4 juta tahun lalu, berkisar 70 juta nukleotida. Yaa
jumlah yang sedikit jika bicara dari perspektif genom masing-masing yang
milyaran nukleotida. Hal tersebut membuat para ahli harus merancang 7 juta
molekul CRISPR/Cas9 untuk menyelesaikan seluruh penyuntingan genom. Sebuah hal
yang mungkin untuk dilakukan....walaupun gambarannya akan memakan waktu lama
dan dana yang sangat besar.
Sampai pada tahap ini, kita anggap saja proses tersebut berhasil. Kita
telah berhasil menyunting genom gajah asia agar dapat mengekspresikan ciri-ciri
seekor mamut. Kita kembali ke jalur awal, yaitu mengkloning genom tersebut dan
menanamkannya di rahim seekor gajah. Akankah proses ini berhasil? Well, setelah
melihat keberhasilan kloning domba Dolly yang terkenal itu, kita cukup optimis
bahwa proses ini akan berhasil. Ya, setelah hampir 300 kali percobaan kloning
baru terlahirlah Dolly dan itupun tidak mampu untuk bertahan pada rentang hidup
yang semestinya.
Setelah membaca uraian di atas, mungkin teman-teman akan bertanya
sebenarnya untuk apa semua ini dilakukan. Bukannya kita telah menyimpang dari
konteks awal membawa sebuah spesies kembali dari kepunahan? Nah disinilah
maksud sebenarnya dari konsep de-extinction yang dicetuskan oleh penulis.
Alih-alih mengembalikan sebuah spesies dari kepunahan, penulis bermaksud untuk
membawa kembali interaksi yang
dulunya tercipta ketika spesies tersebut belum punah, baik antar spesies di
dalam komunitas maupun antara spesies dengan lingkungannya di dalam ekosistem. Dengan
konsep pengembalian interaksi ini, diharapkan dapat membawa kembali
keseimbangan di dalam ekosistem tersebut yang pernah hilang. Jika di antara
teman-teman ada yang pernah kuliah ekologi, kemungkinan akan menyadari maksud
awal mengapa mamut terpilih dari sekian banyak kandidat. Ya, karena di
ekosistem tundra artika di Siberia utara sana, mamut merupakan spesies kunci (keystone species).
Dengan segala keoptimisan yang sepertinya telalu tidak mungkin untuk
dapat terwujud dalam waktu dekat ini, marilah kita sedikit beroptimis ria lagi.
Jadi, anggap saja seluruh proses di atas berhasil dan seekor bayi
gajah-dengan-ciri-mamut terlahir ke dunia ini. Dari sinilah segala permasalahan
besar berdatangan. Kita tahu bahwa gajah merupakan hewan yang sangat sosial dan
hal ini merupakan tantangan akan bernasib seperti apa bayi ‘mamut’ ini. Karena
ini merupakan bayi ‘mamut’ pertama yang diharapkan untuk dapat hidup di
ekosistem lingkar artika sana, lantas siapa yang akan mengajarinya untuk
bertahan hidup disana? Induknya yang merupakan gajah asia jelas tidak akan mungkin
bertahan hidup di artika. Selain itu, pertimbangan mengenai cara penangkaran
dan pelatihannya juga menjadi hal yang penting. Terakhir di dalam buku ini juga
mempertanyakan berapa jumlah ‘mamut’ yang perlu diciptakan agar hewan-hewan
tersebut dapat membentuk populasi yang berkesinambungan (minimum viable population) serta seberapa besar variasi genetik
antar individu mamut untuk mencegah penurunan populasinya (akibat Allee effect)?
Selama proses membaca buku ini, saia terus berpikir kenapa mereka
ingin melakukan semua ini. Namun setelah menghabiskannya, saia kemudian
berpikir hal yang lain. Buku ini tidak semata-mata bertujuan untuk membawa
kemali mamut secara harfiah. Pesan implisit yang juga terdapat di dalam buku
ini juga memiliki makna konservasi. Jika kita tidak ingin atau tidak mungkin mengembalikan
suatu spesies dari kepunahan, maka setidaknya buku ini dapat menyediakan gambaran
bagi kita untuk bersikap terhadap spesies yang ada sekarang yang sedang berada
di ambang kepunahan. Hingga saat saia menuliskan ulasan ini, saia pun masih
belum bisa menjawab judul dari bab terakhir di dalam buku ini. Secara pribadi
saia setuju dengan konteks yang dibawakan, yakni pengembalian interaksi. Namun
memikirkan kecilnya peluang dan segala resikonya, saia menjadi ragu apakah
tindakan ini patut dilakukan. Apakah teman-teman bisa membantu menjawabnya?
Victor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar