Senin, 09 November 2015

Review: How to Clone a Mammoth – The Science of De-extinction




Sepaket dengan buku terakhir yang saia review, buku ini juga saia beli melalui Periplus online. Buku dengan judul How to Clone a Mammoth – The Science of De-extinction ditulis oleh Beth Saphiro, seorang  associate profesor di bidang ekologi dan biologi evolusi University of California Santa Cruz (UCSC). Dimensi buku ini adalah 24 x 16 cm dengan tebal xiv + 220 halaman. Buku ini menceritakan kisah utamanya tentang bagaimana caranya menghidupkan kembali hewan yang sudah punah menggunakan kemajuan di bidang bioteknologi. Yaa setidaknya hanya itu yang saia bayangkan ketika membaca ulasan singkat tentang buku ini di situs penjualan buku.
Sebanyak 11 bab mengisi buku ini yang terdiri dari: (1) Reversing Extinction; (2) Select a Species; (3) Find a Well Preserved Specimen; (4) Create a Clone; (5) Breed Them Back; (6) Reconstruct the Genome; (7) Reconstruct Part of the Genome; (8) Now Create a Clone; (9) Make More of Them; (10) Set Them Free; (11) Should We?. Jika mengikuti alur judul bab satu per satu, maka teman-teman akan membayangkan bahwa alur cerita di dalam buku ini bersifat metodik. Yup benar, buku ini mengulas tentang langkah demi langkah yang perlu ditempuh jika kita ingin menghidupkan kembali spesies yang telah punah.
Pada bab 1, penulis memberikan sebuah fakta bahwa saat ini kita mungkin (atau sangat mungkin) menghadapi fenomena kepunahan masal keenam. Banyak respon yang ditimbulkan dari fenomena ini terhadap manusia, mulai dari aspek politik hingga sains. Para ekolog dan ahli konservasi, tidak diragukan lagi pasti akan menggalang gerakan konservasi skala besar untuk setidaknya memperlambat laju kepunahan ini. Namun demikian, biar lambat pada akhirnya akan punah juga toh. Nah ada satu pemikiran baru yang dicetuskan sebagai respon terhadap kemajuan biologi molekuler dan bioteknologi saat ini. Bukannya tidak mungkin bahwa dalam waktu dekat di masa depan kita akan mampu menghidupkan kembali spesies-spesies yang telah punah tersebut. Namun demikian, coba bayangkan jika dilakukan polling terhadap masyarakat di seluruh dunia mengenai spesies apa yang perlu dihidupkan lebih dulu ke dunia ini dan mengapa? Bisakah kalian menjawabnya?
Jelas butuh banyak pertimbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut, baik dari segi teknis ataupun sosio-ekologis. Penulis juga telah merangkum daftar pertanyaan yang perlu diajukan sebelum mencapai keputusan mengenai spesies apa yang perlu dibawa kembali. Pertanyaannya dilontarkan dalam bahasa Inggris, dan saia akan berusaha menerjemahkannya semirip mungkin. Pertanyaan tersebut di antaranya: (1) mengapa spesies tersebut perlu dikembalikan dari kepunahannya?; (2) Bagaimana dulunya spesies tersebut punah?; (3) Apabila spesies tersebut berhasil dibawa kembali, apakah ada tempat yang cocok untuk hidup?; (4) Bagaimana dampak spesies yang dibawa kembali tersebut terhadap lingkungan sekitarnya?; (5) Dapatkah kita mempelajari genom dari spesies yang telah punah?; (6) Apakah ada cara untuk merubah genom dari organisme yang hidup saat ini?; (7) Apakah mungkin untuk merelokasi organisme yang dihasilkan cari penangkaran ke alam bebas?
Jika kita telaah kembali ketujuh pertanyaannya, kita dapat melihat bahwa empat pertanyaan pertama merupakan pertanyaan skala sosio-ekologis yang lebih ditujukan mengenai pantas tidaknya suatu spesies dikembalikan dari kepunahan. Tiga pertanyaan terakhir lebih menyinggung soal teknis pengembalian spesies yang telah punah tersebut. Intinya dari ketujuh pertanyaan ini hadirlah beberapa kandidat spesies yang akan menjadi calon untuk pengembalian dari kepunahan (de-extinction), di antaranya burung moa (Dinornis novazealandiae), burung dodo (Raphus cucullatus), Sapi laut Steller (Hydrodamalis gigas), woolly mammoth (Mammuthus primigenius), woolly rhinoceros (Coelodonta antiquitatis), dan passenger pigeon (Ectopistes migratorius). Ternyata kandidat yang terpilih adalah woolly mammoth. Mulai dari sini, saia akan menyebutnya sebagai mamut saja.
Mengapa mamut?
Well, banyak faktor yang menjadi sebab terpilihnya si gajah berambut tebal ini, mulai dari banyaknya fosil yang tersedia untuk dijadikan sumber DNA, adanya kerabat dekat yang masih hidup hingga saat ini yaitu gajah asia (Elephas indicus), ketersediaan ekosistem yang “mirip” dengan ekosistem tempat si mamut hidup dulu di Siberia utara, hingga perkiraan potensi peningkatan biodiversitas di zona lingkar artika dengan kehadiran mamut. Oke, dengan ditentukannya spesies yang akan dibawa kembali dari kepunahan, lantas apa yang selanjutnya perlu dilakukan?
Penulis selanjutnya akan mengajak kita untuk berkenalan dengan revolusi bioteknologi terkait. Jika teman-teman yang memiliki latar belakang biologi ditanya tentang bagaimana caranya menciptakan hewan, maka pikiran pertama yang muncul pasti adalah teknologi kloning. Ya persis seperti itulah langkah pertama yang akan dilakukan. Namun demikian, hewan yang sudah punah puluhan ribu tahun lamanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menyisakan sel yang masih hidup atau sel dengan inti yang masih utuh. Ya memang begitulah faktanya, sejauh pencarian yang dilakukan tidak ditemukan adanya sel mamut yang masih utuh untuk menjadi donor dalam proses kloning. Dengan demikian, jelas kloning tidak dapat dilakukan.
Cara kedua adalah dengan melakukan penyuntingan genom (genome editing). Idenya adalah dengan mencari sisa-sisa dari mamut berharap untuk mendapatkan DNA-nya. Setelah genom mamut telah dipetakan dengan lengkap, maka kita akan melakukan penyuntingan pada genom kerabat terdekatnya yakni gajah asia sehingga sel-sel nya dapat mengekspresikan ciri mamut. Sesudah itu, tinggal dikloning deh. Namun ternyata kenyataan di lapangan cukup berat, walaupun bukannya tidak mungkin. Hal ini karena DNA mamut yang terdapat dalam fosil beku di daratan Siberia telah terfragmentasi dengan berat. Dengan kata lain, agak sulit untuk bisa memetakan genom lengkap dari mamut.
Oke, turunkan standar, tidak usah 100% mamut, cukup tetap gajah asia namun yang menampilkan ciri-ciri mamut. Nah untuk ini sepertinya lebih mungkin untuk dilakukan. Beberapa peneliti di dunia ada yang sudah berhasil mengungkap ciri-ciri mamut berdasarkan fragmen genomnya. Salah satunya adalah mamut diketahui memiliki protein hemoglobin yang bekerja jauh lebih efisien pada kondisi lingkungan yang dingin. Selain daripada itu, ciri lainnya yang diketahui secara penampakan adalah mamut memiliki rambut yang jauh lebih tebal daripada kerabatnya yang hidup di Asia atau Afrika sana. So, berangkat dari ide mengembalikan seekor mamut, sekarang kita mengarah ke menciptakan gajah asia dengan ciri mamut. Dengan emajuan bioteknologi, kita telah dapat melakukan penyuntingan genom. Dua teknik yang dibahas di dalam buku ini menggunakan zinc finger nucleases (ZFN), transcription activator-like effector nucleases (TALEN), dan clustered regularly interspaced short palindromic repeats (CRISPR/Cas9). Setelah hitung-hitungan, penyuntingan genom gajah asia, setelah pemisahannya dengan mamut yang berlangsung 4 juta tahun lalu, berkisar 70 juta nukleotida. Yaa jumlah yang sedikit jika bicara dari perspektif genom masing-masing yang milyaran nukleotida. Hal tersebut membuat para ahli harus merancang 7 juta molekul CRISPR/Cas9 untuk menyelesaikan seluruh penyuntingan genom. Sebuah hal yang mungkin untuk dilakukan....walaupun gambarannya akan memakan waktu lama dan dana yang sangat besar.
Sampai pada tahap ini, kita anggap saja proses tersebut berhasil. Kita telah berhasil menyunting genom gajah asia agar dapat mengekspresikan ciri-ciri seekor mamut. Kita kembali ke jalur awal, yaitu mengkloning genom tersebut dan menanamkannya di rahim seekor gajah. Akankah proses ini berhasil? Well, setelah melihat keberhasilan kloning domba Dolly yang terkenal itu, kita cukup optimis bahwa proses ini akan berhasil. Ya, setelah hampir 300 kali percobaan kloning baru terlahirlah Dolly dan itupun tidak mampu untuk bertahan pada rentang hidup yang semestinya.
Setelah membaca uraian di atas, mungkin teman-teman akan bertanya sebenarnya untuk apa semua ini dilakukan. Bukannya kita telah menyimpang dari konteks awal membawa sebuah spesies kembali dari kepunahan? Nah disinilah maksud sebenarnya dari konsep de-extinction yang dicetuskan oleh penulis. Alih-alih mengembalikan sebuah spesies dari kepunahan, penulis bermaksud untuk membawa kembali interaksi yang dulunya tercipta ketika spesies tersebut belum punah, baik antar spesies di dalam komunitas maupun antara spesies dengan lingkungannya di dalam ekosistem. Dengan konsep pengembalian interaksi ini, diharapkan dapat membawa kembali keseimbangan di dalam ekosistem tersebut yang pernah hilang. Jika di antara teman-teman ada yang pernah kuliah ekologi, kemungkinan akan menyadari maksud awal mengapa mamut terpilih dari sekian banyak kandidat. Ya, karena di ekosistem tundra artika di Siberia utara sana, mamut merupakan spesies kunci (keystone species).
Dengan segala keoptimisan yang sepertinya telalu tidak mungkin untuk dapat terwujud dalam waktu dekat ini, marilah kita sedikit beroptimis ria lagi. Jadi, anggap saja seluruh proses di atas berhasil dan seekor bayi gajah-dengan-ciri-mamut terlahir ke dunia ini. Dari sinilah segala permasalahan besar berdatangan. Kita tahu bahwa gajah merupakan hewan yang sangat sosial dan hal ini merupakan tantangan akan bernasib seperti apa bayi ‘mamut’ ini. Karena ini merupakan bayi ‘mamut’ pertama yang diharapkan untuk dapat hidup di ekosistem lingkar artika sana, lantas siapa yang akan mengajarinya untuk bertahan hidup disana? Induknya yang merupakan gajah asia jelas tidak akan mungkin bertahan hidup di artika. Selain itu, pertimbangan mengenai cara penangkaran dan pelatihannya juga menjadi hal yang penting. Terakhir di dalam buku ini juga mempertanyakan berapa jumlah ‘mamut’ yang perlu diciptakan agar hewan-hewan tersebut dapat membentuk populasi yang berkesinambungan (minimum viable population) serta seberapa besar variasi genetik antar individu mamut untuk mencegah penurunan populasinya (akibat Allee effect)?
Selama proses membaca buku ini, saia terus berpikir kenapa mereka ingin melakukan semua ini. Namun setelah menghabiskannya, saia kemudian berpikir hal yang lain. Buku ini tidak semata-mata bertujuan untuk membawa kemali mamut secara harfiah. Pesan implisit yang juga terdapat di dalam buku ini juga memiliki makna konservasi. Jika kita tidak ingin atau tidak mungkin mengembalikan suatu spesies dari kepunahan, maka setidaknya buku ini dapat menyediakan gambaran bagi kita untuk bersikap terhadap spesies yang ada sekarang yang sedang berada di ambang kepunahan. Hingga saat saia menuliskan ulasan ini, saia pun masih belum bisa menjawab judul dari bab terakhir di dalam buku ini. Secara pribadi saia setuju dengan konteks yang dibawakan, yakni pengembalian interaksi. Namun memikirkan kecilnya peluang dan segala resikonya, saia menjadi ragu apakah tindakan ini patut dilakukan. Apakah teman-teman bisa membantu menjawabnya?

Victor

Tidak ada komentar: