Selasa, 03 Agustus 2010

Cetacea: Sebuah Bangsa Besar yang Terancam (Part III)




Tulisan ini merupakan bagian ketiga sekaligus bagian terakhir dari artikel 'bukan tulisan ilmiah' yang berkisah tentang Cetacea. Pada bagian terakhir ini saia mencoba memaparkan mengenai pola migrasi, implikasi manusia, serta upaya konservasi yang dilakukan. Well enjoy your reading ^^

Jalan-jalan Yuk
Berbicara mengenai migrasi, bangsa Cetacea memiliki catatan historis yang sangat memukau. Namun dari kedua kelompok, hanya kelompok paus bersurai yang mengadakan migrasi tahunan berkeliling dunia. Lalu kenapa paus bergigi tidak? yaa sepertinya hal ini terkait dengan tipe makanannya. Paus bergigi tidak perlu repot-repot karena justru beberapa mangsanya yang mengadakan migrasi tahunan. Dengan demikian para paus bergigi ini hanya perlu menunggu di tempat yang tepat untuk menyergapnya. Paus bersurai dalam hal ini perlu mengadakan migrasi tahunan karena terkait dengan ketersediaan makanan dan urusan melahirkan. Hebat juga yah, mau melahirkan saja harus jalan-jalan dulu. Paus yang memiliki catatan perjalanan yang cukup lengkap adalah paus Gray (Eschrichtius robustus) dan paus bongkok / humpback (Megaptera novaengliae).

Oke, perjalanan migrasi keluarga Megaptera novaenglie akan dimulai dari belahan bumi utara, yaitu perairan Alaska menjelang akhir bulan September. Apakah semua sudah berkemas-kemas? jangan sampai ada yang ketinggalan dan semua harus sudah makan kenyang lohh khususnya bagi yang sedang hamil. Ya kira-kira itulah persiapan sebelum melakukan perjalanan panjang ke perairan tropika yang lebih hangat. Mereka harus makan banyak karena krill melimpah di perairan dingin. Paus umumnya akan berangkat dalam kelompok-kelompok kecil, namun ada juga yang berangkat sendiri. Yah kelompok memang kecil, tapi ukuran badan bisa berkata lain. Beberapa betina yang ikut dalam perjalanan sudah dalam keadaan hamil beberapa bulan dan akan melahirkan anaknya ketika di perairan tropika nanti. Perjalanan ini cukup memakan waktu dan kira-kira mereka akan sampai di perairan tropika, yaitu teluk Meksiko pada pertengahan Desember. Di tempat ini, paus betina akan melahirkan dan menyusui anaknya hingga siap untuk ikut melakukan perjalanan balik, sementara paus jantan akan kawin dengan betina yang belum hamil. Pemberangkatan balik ke laut utara dilakukan sekitar bulan Maret dan mereka akan sampai kembali ke perairan Alaska sekitar akhir Mei. Perjalanan balik ini lebih berat dibandingkan perjalanan pergi karena dalam perjalanan balik ini mereka berenang melawan arus. Perairan tropika yang lebih hangat akan mengalir ke utara dimana perairannya lebih dingin sehingga air di perairan utara akan mengalir ke selatan, tepat melawan perjalanan mereka yang menuju utara. Ketika akhirnya mereka mencapai perairan utara di Alaska, berakhir sudah perjalanan tahunan sepanjang 18.000 km dari paus yang berhabitat di perairan utara. Memang cukup jauh, apalagi ditempuh dengan sedayung demi sedayung. Lalu bagaimana dengan paus yang berhabitat pada perairan di belahan bumi selatan, tepatnya di antartika? well, sebenarnya perjalanan mereka kurang lebih mirip seperti kerabatnya di utara, namun yang membedakan adalah waktu perjalanan. Hal ini disebabkan pada akhir September, bumi bagian selatan justru menghangat. Denngan demikian mereka baru melakukan perjalanan ke perairan tropika pada akhir Mei, ketika kerabatnya sudah kebali ke belahan utara.

Namun selama perjalanan bagaimana paus mengingat rutenya? Tentunya hal ini sama sekali berbeda dengan rute daratan karena di perairan tidak ada 'jalan', beberapa penunjuk tempat (landmark) pun cukup jarang dan jangan harap mereka memiliki peta seperti yang saia gunakan untuk menuliskan pola migrasi mereka. Namun pada kenyataannya, mereka sungguh memiliki sistem pemetaan dalam otak mereka yang sepertinya berhubungan dengan medan magnet bumi. terlepas dari sistem pemetaan yang canggih itu, paus juga perlu mengingat beberapa lokasi dan terkadang menjadi tepat persinggahan khususnya bagi betina yang membawa anaknya untuk menghindari para paus pembunuh (Orcinus orca).

Apa yang dilakukan oleh mahluk berkaki dua itu??
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran manusia (Homo sapiens) bersama segala aktivitasnya telah mengakibatkan berbagai dampak terhadap lautan, dan itu berarti juga berdampak terhadap bangsa Cetacea dimanapun mereka berada. Dampak tersebut dapat berefek positif dan juga negatif, namun pada segmen ini kita akan membicarakan mengenai dampak negatifnya terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan manusia sepertinya lebih banyak dibandingkan dampak positif yang dibuatnya.

Dampak negatif manusia terhadap bangsa Cetacea dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berdampak langsung dan tidak langsung. Contoh dampak negatif langsung adalah perburuan paus secara massal, polusi suara bawah air, dan lainnya. Kemudian dampak tidak langsung meliputi polusi lautan dengan berbagai macam produk yang pernah dibuang manusia. Oke, mari kita bahas satu per satu. Telah dibahas sebelumnya bahwa paus sebagai mamalia laut memiliki indera pendengaran yang lebih bagus dibandingkan indera lainnya. Hal ini berarti paus mengandalkan indera pendengaran untuk sebagian besar aktivitas hidupnya. Aktivitas manusia yang menggunakan kapal besar maupun gelombang sonar intensitas tinggi khususnya pada jalur migrasi paus maupun pada daerah yang dekat dengan habitat paus tentunya akan menciptakan keributan di bawah air. Suara-suara tersebut juga ternyata telah mengacaukan sistem echolocating sehingga membuat mereka kehilangan arah perjalanan. Akibatnya adalah paus-paus yang tidak beruntung akan terluka atau bahkan lebih seringnya mati karena tertabrak baling-baling kapal atau terdampar di pantai dan tidak pernah kembali ke laut. Sekalipun aktivitas yang mengganggu kehidupan paus telah dilarang, seperti contohnya penggunaan sonar bawah air intensitas tinggi, angka kematian paus tetap tinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh sebab kedua, yaitu perburuan paus (whaling). Perburuan ini mendatangkan keuntungan yang cukup tinggi karena ukuran paus yang besar. Perburuan paus ini membuat angka kematian paus menjadi sangat tinggi hingga beberapa jenis paus besar seperti paus biru (Balaenoptera musculus) hampir punah.

Selain dampak langsung, terdapat juga dampak tidak langsung yang mengancam kehidupan bangsa Cetacea. Perlahan namun pasti, justru sebenarnya dampak tidak langsung inilah yang sangat mematikan jika dibandingkan dengan kematian akibat perburuan maupun sekedar tabrakan dengan kapal. Polusi berbagai bahan kimia hasil buangan manusia seperti minyak, pestisida, pupuk, logam berat, hingga yang sesederhana sampah plastik dapat berdampak pada kemampuan bertahan hidup bangsa Cetacea. Hal ini disebabkan bahwa semua polusi tersebut mengancam keseluruhan ekosistem lautan yang menjadi habitat bangsa Cetacea ini. Dalam kasus ini, polusi tersebut apabila dibandingkan dengan luasnya lautan tentu tidak berarti apa-apa. Namun apabila kita menggabungkan faktor-faktor seperti aliran arus lautan dan jejaring makanan (trophic foodweb) maka semua akan menjadi jelas mengancam kelangsungan hidup bangsa Cetacea yang umumnya berada di puncak piramida makanan. Ambil satu contoh, yaitu pencemaran minyak akibat karamnya kapal tanker. Plankton (hewan atau tumbuhan kecil yang melayang-layang di air), krill, burung laut, dan anjing laut yang terkena ternyata berdampak pada menurunnya tingkat kesuburan serta tingkat harapan hidup. Walaupun seandainya kita beranggapan tidak ada paus yang terkena tumpahan minyak pada saat itu, arus lautan akan membantu menyebarkan minyak tersebut ke tempat-tempat yang jauh. Kemudian, berbagai mahluk yang terkena tumpahan minyak mungkin sebagian diantaranya akan langsung mati dan sisanya akan menampung minyak tersebut di dalam tubuhnya. Akibat secara tidak langsung terlihat ketika kita memandang dari segi jejaring makanan karena bangsa Cetacea pasti memerlukan makanan. Paus bersurai akan menyaring plankton dan paus bergigi akan berburu untuk makan, sekaligus mengumpulkan minyak dari makanannya ke dalam tubuhnya. Akhir cerita, seperti yang telah diperkirakan, Cetacea yang sebelumnya kita anggap tidak terkena minyak pun pada akhirnya akan terkena minyak dan segala dampaknya.

Mencoba memperlambat kepunahan atau membaliknya??
Menanggapi segala dampak negatif yang ditimbulkan, maka dibuat serangkaian peraturan kelautan agar dapat meredam laju kematian bangsa Cetacea, khususnya golongan paus besar yang sangat terancam punah. Beberapa diantaranya adalah larangan perburuan paus yang terancam punah, larangan pembuangan limbah di laut lepas, upaya restorasi habitat paus, penelitian mengenai kemelimpahan serta persebaran, dan penetapan status konservasi setiap jenis paus tersebut. Hal tersebut tidaklah mudah dan membutuhkan dana yang sangat besar dari berbagai negara sehingga kemajuannya pun berjalan lambat. Memang pada akhirnya jenis demi jenis paus yang tidak dapat bertahan akan punah akibat perubahan lingkungan, namun sebaiknya kita tidak mempercepat kejadian ini.
Mengkonservasi paus berarti juga mengkonservasi habitat tempat paus hidup. Hal tersebut merupakan tantangan besar karena habitat hidup paus merupakan seluruh lautan yang ada di bumi ini. Tantangan tersebut semakin dipersulit dengan fenomena global warming yang kerap kali diisukan dan akan mengganggu keseimbangan jejaring makanan khususnya di lautan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk meredam segala gangguan terhadap lingkungan laut baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan tanggung jawab kita semua, mahluk unik berkaki dua yang dapat berpikir. Maka untuk sekarang dan di masa depan, bangsa Cetacea yang sedang terancam ini tampaknya memang sedang mempertanyakan kemampuan berpikir kita. Saia pikir cukup tepat juga untuk mengatakan bahwa bangsa ini berharap bahwa semoga laju kematian anggota-anggotanya dapat diimbangi atau bahkan dikalahkan dengan kemajuan konservasi yang dilakukan. Secara tidak langsung, kita para manusia yang bertempat tinggal jauh dari laut pun dapat berkontribusi dalam mengurangi laju kematian ini. Data yang ada menunjukan bahwa limbah rumah tangga perkotaan turut menyumbang hampir sepertiga dari total limbah yang masuk ke lautan. Berani merusak, berani juga bertanggung jawab. Walaupun kita tidak dapat mengurangi jumlah yang sudah ada, paling tidak kita dapat menekan penghasilan limbahnya.

Akhir kata
Yah demikianlah mengenai apa yang dapat saia tuliskan mengenai sebuah bangsa yang terancam punah. Dapat saia simpulkan bahwa seperti layaknya manusia, bangsa Cetacea dengan segala keunikannya merupakan mahluk hidup yang berbagi tempat dengan kita di bumi ini. Tentu menjadi sebuah keindahan tersendiri disaat kita mengenal bangsa Cetacea lebih dekat, mempelajari perjuangan adaptasi dan evolusi terhadap lingkungan perairan, penyesuaian jenis makanan, hingga migrasi tahunan. Bersamaan dengan itu, cukup menyedihkan juga mengetahui bagaimana perilaku kita baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlah berakibat buruk terhadap bangsa yang unik ini. Lalu bagaimana tanggung jawab kita terhadap Ordo Cetacea? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan tindakan yang kita lakukan sekarang dan di masa depan. Tindakan yang seperti apakah itu? Yaa perubahan jumlah Cetacea di lautan bumi ini yang akan menjawabnya.

Victor Aprilyanto
2 Agustus 2010

Sumber: dan sekali lagi, dari berbagai sumber...

Tidak ada komentar: